Selasa 21 May 2019 16:30 WIB

Danau dan Sepotong Cerita

Aku bahkan tidak mengerti apakah Ibu masih menganggapku sebagai anak

Danau dan Sepotong Cerita
Foto: Rendra Purnama/Republika
Danau dan Sepotong Cerita

Aku sedang memperhatikan seorang perempuan yang tengah duduk depan cermin ketika menulis cerita ini. Ia sibuk memoles wajahnya dengan sepuhan bedak, dengan bibir warna merah menyala. Aku heran dengan caranya mengenakan sepatu hak tinggi yang membungkus kakinya. Bagaimana tidak, aku merasa kasihan barangkali kaki itu dapat berbicara, mungkin saja ia berteriak kesakitan.

Perempuan itu mengencangkan tali sepatu tanpa ampun. Agar kakinya terlihat ramping, katanya kemudian setelah memelototkan mata ke arahku. Aku hanya tersenyum datar.

 

“Mau ke mana?” tanyaku kepadanya.

 

“Hidup ini harus dibuat bersenang-senang,” balasnya dengan mulut menyeringai.

 

Hampir menyerupai singa yang hendak menerkam mangsanya. Namun, ia begitu santai dengan jawabannya.

 

“Anakmu bagaimana? Dia belum bangun.”

 

“Biarkan saja.” Nanti dia pasti akan mencari Mbok Nah, pembantu yang sudah menemaninya sejak mula ia menikah dengan Iyas, suaminya. “Lagi pula itu sudah menjadi tugas yang harus dilakukannya.”

 

 

Aku hanya diam mencerna kata-katanya. Barangkali yang ada di benak perempuan itu bahwa mungkin tak akan ada gunanya ia bersusah payah mengupah pembantunya jika pembantunya itu tak melakukan yang semestinya ia lakukan. Ia memang sudah sering tidak menghiraukan Mbok Nah. Para tetangga sudah lama menggunjingkan atas ketidakhormatannya terhadap segala orang tua seusia Mbok Nah.

 

Pernah suatu kali ia memaki habis-habisan seorang peminta-minta yang mendatangi pintu rumahnya dengan suara mengiba. Pengemis itu lelaki kira-kira berusia sepantaran dengan Mbok Nah, barangkali sedikit lebih tua.

 

Saat itu Ahad, semua orang di keluarga perempuan itu hendak menghabiskan akhir pekan dengan berjalan-jalan. Lelaki tua itu sangat letih, hampir tak bertenaga, aku hanya bisa memperhatikan dari balik jendela, tidak berani mendekat karena biasanya perempuan itu tidak akan mengizinkan, bahkan marah besar.

 

 

Harapan lelaki tua itu tidak banyak, hanya mengharap segelas air putih karena letih sudah seharian ini ia berjalan. Namun, seketika itu juga perempuan itu mendorong Pak tua keluar gerbang, kemudian menutupnya rapat. Sementara mobilnya buru-buru meninggalkan garasi.

Suaminya sudah memperingatkannya, tapi selalu saja ada alasan yang membuat suaminya menghela napas—menyerah. Kemudian lelaki tua itu kelihatan sangat murung wajahnya. Ia berjalan dengan langkah limbung karena tidak memiliki tenaga, hampir saja terjatuh. Berjalanlah mobil perempuan itu, bersamaan dengan suara parau Pak tua, “Kau akan menyesal kelak, perempuan muda. Sebab perlakuan anakmu sendiri!”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement