Advertisement
Selasa 21 May 2019 16:30 WIB

Danau dan Sepotong Cerita

Aku bahkan tidak mengerti apakah Ibu masih menganggapku sebagai anak

Danau dan Sepotong Cerita
Foto:

Perempuan itu tidak saja keras, tetapi juga jarang mengurusi anaknya dan hampir tidak pernah mempedulikan Iyas, suaminya. Hal yang terpenting baginya adalah ia dapat memberikan segala sesuatu yang diinginkan anak semata wayangnya. Karena menurutnya segalanya bisa dibeli dengan uang.

Dengan uang itu, ia bisa membeli mobil, rumah, mengupah pembantu, jalan-jalan ke luar negeri, atau sekadar jajan di luar rumah dan mentraktir teman kerjanya di kafe dekat kantor. Sementara, ia selalu melarang-larang suaminya melakukan sesuatu, tapi tak pernah sedikit pun menger ti yang dikehendaki suaminya itu. Masalah setelan baju, dasi, atau tas kerja tidak pernah sedikit pun digubrisnya. Yang ada di pikirannya hanya uang, uang, dan uang.

 

Aku pernah secara tidak sengaja mendengar percakapannya dengan anak lelakinya, yang masih berusia delapan tahun. “Bu, Tiar ingin ibu memasak untuk Tiar. Tiar bosan dengan masakan Mbok Nah yang itu-itu saja.”

 

“Sama Mbok Nah saja, ya. Ibu masih sibuk.”

 

“Tapi, kan …”

 

“Sudah, ya. Ibu pergi kerja dulu. Nanti biar Ibu minta Mbok Nah untuk memasak makanan kesukaan Tiar. Ibu kerja kan untuk Tiar juga.”

 

Ah, perempuan itu selalu saja punya alasan untuk menolak permintaan anaknya. Mestinya itu bukanlah permintaan yang sulit bagi seorang ibu. Bukankah sudah patut ia curahkan rasa kasih dan sayangnya untuk anaknya? Tidak melulu yang ada dipikiran selalu saja uang.

 

Ia menciumi kedua pipi anaknya, kemudian bergegas mempercepat langkah sepatu hak yang menyerupai sepatu kuda, tik-tok-tik-tok! Kontan saja wajah anak lelaki itu berubah masam, seperti buah yang terlanjur panen sebelum masak.

 

 

Diam-diam suami perempuan itu kerap mengeluarkan seluruh isi kepala kepada Juan, teman dekatnya. Ia sering kali membusakan mulutnya yang berisi segala macam keluhan mengenai istrinya itu.

 

“Menurutmu, apa yang meski kulakukan terhadap istriku?”

 

Terserah kau saja. Namun mestinya kau nasihati istrimu itu. Kuperhatikan selama ini kamu saja yang kurang tegas terhadapnya,” sergah Juan.

 

“Aku kurang tegas? Kau belum tahu saja, bagaimana menakutkannya istriku saat sedang mengamuk. Aku hanya tak ingin mencari masalah terhadapnya. Mestinya kau tahu itu.”

“Kau terlalu lemah. Makanya ia seenaknya terhadapmu.”

Iyas sering kali berpikir, selama sembilan tahun ini hampir tak pernah ia mendapat sambutan hangat dari istrinya. Bahkan, ketika ia kelihatan sangat letih. Bajunya penuh dengan peluh yang memenuhi sekujur tubuh. Ia mencoba berulang kali mengetuk pintu dengan sekuat tenaga, tapi tak sekali pun jawaban dari balik pintu ia dapatkan. Barangkali Mbok Nah tengah sibuk merampungkan pekerjaannya, sementara perempuan itu masih asyik menghamburkan uangnya.

Sebagai seorang lelaki yang mempunyai istri, sudah sepantasnya jika ia mendapatkan sambutan hangat saat tubuh merasa lelah sepulang kerja, lalu bersegera membawakan tas dan menyeduhkan secangkir kopi panas, atau sekadar memberikan pijitan kecil pada persendian yang kaku setelah seharian bekerja.

Namun, tidak. Tidak demikian untuk Iyas. Ia justru harus menahan segala kepahitan yang ditanggungnya. Ia selalu melakukan pekerjaannya sendiri tanpa bersusah payah meminta bantuan pada istrinya. Mulai bangun tidur, menyeduh kopi, menyiapkan setelan baju, tas kerja, sepatu, serta berbagai rangkaian pekerjaan lain ia kerjakan sendiri.

Pak lurah pernah bercerita kepadaku, ia sangat bosan jika harus berkunjung ke rumah perempuan itu. Bukan, bukan karena rumah itu berhantu, tapi karena tak pernah sekali pun pak lurah berhasil bertemu penghuni rumah, hanya ada aku dan Mbok Nah yang tidak punya urusan dengan Pak lurah. Mereka terlalu sibuk, bahkan untuk sekadar menyapa tetangganya. Bagi mereka siang dan malam hampir tidak ada bedanya. Malam bisa saja menjadi siang, dan siang pun bisa menjadi malam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement