Jumat 17 May 2019 05:55 WIB

Recehan Serakah

Kepingan receh adalah salah satu yang perlu diperjuangkan hanya demi sesuap nasi

Recehan Serakah
Foto: Daan Yahya/Republika
Recehan Serakah

Aku terhenyak. Semenit kemudian pikiranku tiba-tiba kembali ke jalan kebenaran. Apa yang sudah aku lakukan? Batinku menjawab kegalauan atas selintas peristiwa yang baru saja terjadi. Keserakahan ini muncul begitu saja.

Bagaimana tidak? Hari ini aku berniat mengirim barang ke sebuah ekspedisi. Di sana, yang biasanya tidak ada tukang parkir, ternyata tak jauh di depan ruko di samping ekspedisi duduk seorang remaja tukang parkir. Tentu saja aku mulai melakukan perhitungan untung dan rugi marketing barang yang akan kukirimkan. Aku tak mau rugi dengan harga yang sudah kutetapkan bersama pembeli.

Ya, akan menjadi rugi jika keuntunganku yang dua ribu rupiah jatuh ke tangan tukang parkir. Jadilah aku pura-pura tidak mengindahkannya meski mungkin dia berharap juga recehan dariku. Usai transaksi, aku langsung menggas motor cepat-cepat berlalu pergi tanpa peduli apakah wilayah ekspedisi ini juga bagian dari lahan parkirnya.

Tapi, aneh. Sambil mengendara, hatiku menjadi tak setenang biasanya. Pikiranku tiba-tiba kosong memelas. Seperti seonggok penyesalan yang hadir belakangan. Seharusnya aku tak perlu ragu membubuhkan uang dua ribu rupiah untuk tukang parkir.

Barangkali recehan itu memang sudah menjadi rezekinya. Ah, tapi mengapa aku sama sekali tak berkeinginan melakukan hal itu? Justru masih memikirkan untung dan rugi. Hatiku semakin gundah dan terus gelisah. Rupanya kali ini Tuhan benar-benar menegurku dengan ingatan masa lalu. Tentang sepupuku, Edi.

Langkah kaki bocah SMK itu sigap menapak aspal. Melapis seragam sekolah yang masih melekat di tubuh dengan kaos oblong. Meletakkan tas di atas setir butut sepeda ontel milik almarhum bapaknya. Berjalan-berlari mengejar mobil dan motor yang mulai menepi. Berteriak meniup peluit lalu menanda arah. Dia bersemangat kegirangan meyambut keuntungan.

Ya, keuntungan yang ditunggu-tunggu. Upah yang tak seberapa namun sangat berharga meski kadang tak selalu berpihak kepadanya lantaran kendaraan bergeser pada kawan sejawatnya. Tak ada lagi yang harus dilakukan selain mengalah sebab sudah menjadi keputusan lahan bersama. Edi masih menatap masa. Selama jalanan dilalui kendaraan, selama itu pula ladang recehan akan selalu terbuka.

Sungguh tak tampak rona muram di wajah tampannya. Remaja bertubuh tinggi semampai bermata elang tajam itu selalu mensyukuri hari-hari yang dilalui. Kawan-kawan sesama tukang parkir sampai menggumun, selalu meledek agar Edi ikut ajang model iklan otomotif atau penyanyi agar hidupnya lebih mujur. Apalagi, kelincahannya beradu dengan jalanan sangat lihai tak diragukan.

Sejak SMP, diam-diam dia mulai turun di perempatan kota. Sayang, bukan untuk memarkir kendaraan, melainkan menghadang kendaraan. Dihadang untuk diperdengarkan nyanyian anak jalanan. Ya, demi recehan yang hanya dengan kemampuan yang saat itu dimiliki, dia tak malu mengamen di pinggir jalan. Sepulang Edi sekolah, Buk Mun girang sekaligus kaget. Girang sebab Edi memberinya seplastik beras untuk dimasak, tapi lantas terkejut dengan tingkah pola anak sulungnya.

“Apa ini, Ed?” tanya Buk Mun.

“Beras, Buk. Untuk dimasak.”

“Lah, dikasih siapa?”

“Beli, Buk.”

“Duitnya siapa, Le?” Le, sebutan Jawa bagi anak laki-laki di kampung.

Edi penuh khawatir menjawabnya. Jangan-jangan ibunya marah jika tahu dirinya mengamen.

“Duit dari mana? Apa dikasih Ustaz Samsul?” tanya Buk Mun sekali lagi.

Ustaz Samsul adalah guru mengaji di mushala kampung. Sudah menjadi kebiasaan Edi setiap sore untuk mengaji lalu mem bantu Ustaz Samsul membersihkan mushala sebelum shalat Maghrib dimulai.

“Bukan, Buk.”

“Jangan pernah sekali-kali berbuat tercela. Jangan pernah mencuri dan meminta, Le,” tutur ibunya.

“Tidak, Buk, Edi tidak pernah mencuri. Sungguh. Edi hanya ngamen di perempatan kota dengan Mas Udin.”

Seketika Buk Mun terperangah. Terperanjat berdiri dari duduknya sambil mengelus-elus dada. Plastik beras itu masih dibawanya. Kakinya mencak-mencak. Mukanya mengerut menangis resah.

“Ediii…”

Edi tahu ibunya pasti akan marah. Namun, dia tahu hati tulus Buk Mun yang demikian lembut tak pernah mampu melontarkan kata-kata kasar kepada anaknya. Edi hanya tertunduk meski sesekali pundaknya didorong-dorong sang ibu.

“Ed, Ibuk tak rela. Ibuk tak mau. Ibuk tidak ridho kamu jadi pengamen.”

Buk Mun masih merintih kesedihan. Air mata ibu itu pecah. Rasanya terluka dengan seribu sayatan sebab dia tak pernah meng ajarkan putranya menjadi anak jalanan.

“Jangan lagi. Ibuk tak mau menerima lagi hasil ngamen-mu.”

Edi menggeleng-geleng. “Maafkan Edi, Buk. Edi janji tidak akan ngamen lagi.”

“Sekolah saja, Le, sekolah yang pinter. Tidak usah mikir uang. Tidak usah mikir beras. Ibuk masih bisa usaha. Edi sekolah yang tekun. Besok orang yang ngelmu itu akan sukses.”

Nggih, Buk. Edi janji. Edi janji akan jadi orang berilmu.”

Apa hendak dikata, Edi saat itu hanya ingin membantu ibunya yang single parent mencari nafkah. Usaha ibunya serabutan. Kadang jualan gorengan, kadang buruh cuci di rumah tetangga, kadang juga tenaga harian di tukang jahit, sementara harus menghidupi Edi dan dua adik laki-lakinya. Namun, sejak Edi masuk SMK, recehan masih berpihak kepadanya.

Tawaran dari kawan Buk Mun, Pak Ngadimin, disetujui. Buk Mun akhirnya rela Edi membantu Pak Ngadimin sebagai tukang parkir untuk sementara waktu. Bagi mereka, tukang parkir adalah pekerjaan terhormat. Halal. Banyak membantu orang.

Ketika mobil-mobil mewah berdatangan, tukang parkir harus merapikan barisannya agar tak mengganggu jalan umum. Rasanya seperti sebuah tugas yang harus ditunaikan. Menjaga barang mewah meski bukan miliknya.

Kendati mobil mewah itu telah pergi, tukang parkir juga tak pernah merasa rugi sebab amanah telah tertepati. Namun, hal itu bukanlah cita-cita. Bagi Edi, menjadi pegawai kantor adalah keinginan terbesarnya setelah lulus SMK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement