Kamis 16 May 2019 11:42 WIB

Tahlil Kerinduan

Izinkan aku untuk membaca tahlil kerinduan di atas pusaramu

Sedih dan menangis (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Sedih dan menangis (ilustrasi).

Pada Lebaran kali ini, aku kembali berziarah di atas pusaramu. Rutinitas tahunan yang sampai saat ini istiqamah aku lakukan, sejak kau meninggalkanku, tujuh tahun yang lalu. Namun, pada lebaran kali ini, suasana terasa lebih khidmat, sebab sengaja aku membawa seorang perempuan yang perawakan, penampilan dan umurnya tidak jauh berbeda denganmu. Selain perempuan itu, aku juga membawa seorang laki-laki berusia sembilan tahun, yang ketika melihat senyumnya dapat membuka ingatanku pada senyummu yang merona.

Aku menyiramkan air mineral pada prasastimu yang berwarna putih, untuk membersihkan lumut yang mulai menutupi nama dan tanggal wafatmu. Sedangkan mereka berdua, mencabuti rerumput dan membuang dedaun kering yang mengotori pusaramu. Perempuan itu melirik tulisan hitam di prasastimu yang kini sudah bisa dibaca dengan jelas.

“Rahma Nur Diana," gumamnya yang melirih, masih bisa ditangkap gendang telingaku dengan samar. Aku tahu, ia pasti sangat penasaran, siapa gerangan yang berbaring di bawah prasastimu, tetapi ia enggan untuk mengutarakannya. Sebab, sebelum melakukan penerbangan pada tadi pagi menuju tempat persemayamanmu ini, aku sudah katakan kepadanya;

“Kau tidak usah tanya siapa yang akan kita kunjungi. Jika sudah waktunya kau pasti tahu,” ucapku disertai anggukan ringan di kepalanya yang dilingkari kerudung coklat.

Barangkali, di otaknya kini, sedang membelukar tanda tanya besar. Seberharga apakah seseorang yang sedang berbaring di bawah pusara ini, sehingga aku rela melakukan perjalanan jauh menggunakan pesawat, hanya untuk menziarahi pusaramu.

***

Kau pasti tidak menyangka dulu aku sempat menolak dijodohkan denganmu. Sebab dirimu sama sekali tidak masuk dalam kriteria perempuan yang aku idamkan.

Aku lebih suka perempuan yang modis dan kekinian. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi, paling tidak seorang sarjana sepertiku. Perempuan yang bisa aku ajak berkecimpung dalam bisnis yang baru aku rintis, yaitu membuka toko peracakan. Perempuan yang tidak malu-maluin jika diajak ke mall atau ke tempat orang-orang milenial. Bukan perempuan yang sepertimu. Perempuan lulusan pesantren yang menurutku kuper dan ketinggalan zaman.

Ingin sekali aku memberontak atas pertunanganku denganmu. Tetapi, sejak aku masih duduk di bangku kuliah, pertunangan kita sudah dikukuhkan oleh kedua belah pihak keluarga. Aku pun pasrah pada tradisi perjodohan ini. Bukankah membatalkan sebuah kesepakatan untuk saling menjodohkan adalah aib besar bagi orang Madura.

Maka, dengan berberat hati, aku menerima akad nikah dari walimu. Namun ternyata, setelah aku hidup satu atap denganmu, aku menemukan banyak hal yang istimewa darimu. Saat itu, hatiku mulai terbuka untukmu. Benih-benih cinta mulai tumbuh subur di hatiku. Aku pun bisa mencintaimu dengan cepat, sebab aku telah menikahi perempuan yang tepat.

Kau rupanya tidak seperti yang selama ini aku persepsikan. Bisnisku mengalami kemajuan yang sangat tampak sebab kau memiliki ide-ide cemerlang. Jika bukan karenamu, barangkali bisnisku tidak akan menjadi sebesar saat ini. Kini, toko peracangan yang dulu aku rintis denganmu, berhasil membuka cabang di mana-mana.

Selain itu pula, kau bagaikan obat ketika aku merasakan lelah yang teramat sangat. Senyummu seperti oase di tengah gersangnya hatiku. Banyak masalah yang kuhadapi, berhasil aku lewati denganmu. Kau selalu ada untukku ketika banyak orang mengabaikanku. Kaulah orang pertama yang selalu siap mendengar dan memberi jalan keluar atas setiap keluh kesahku. Hidupku di dalam rumah yang sederhana, bagaikan hidup di surga sebab dirimu yang menghiasinya, dengan kecantikan yang sempurna.

Dan, yang terpenting bagiku, kau adalah guru spiritual dalam hidupku. Ilmu agama yang telah kau timba di pesantren, telah menyirami hatiku yang dulu terasa gersang. Barangkali, kaulah manifestasi dari perempuan salehah yang digambarkan Rasulullah dalam sebuah hadist. Perempuan yang menjadi qurratu ain bagi suaminya. Rumah tanggaku denganmu mengalir dengan penuh kebahagiaan. Hingga akhirnya kau mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, buah dari cinta yang kita bina. Kau menamainya Alfin Hubban; seribu kasih sayang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement