Ahad 26 May 2019 04:07 WIB

Berburu Malam Seribu Bulan

Malam seribu bulan seindah malam dengan seribu bola lampu, bahkan lebih indah

Berburu Malam Seribu Bulan
Foto:

Malam ke-21 seusai Shalat Tarawih. Anwar memepersiapkan diri untuk berjaga kalau-kalau malam ini akan terjadi malam seribu bulan. Ia sudah menyediakan obat nyamuk lotion untuk menghindari isap nyamuk-nyamuk nakal.

Sepanjang malam ia menengadah ke atas langit dari beranda rumahnya. Hanya tampak bulan tunggal berbentuk seperti sesisir pisang cavendish. Namun, angin malam yang sepoi-sepoi menidurkannya di kursi panjang yang terbuat dari rotan buatan pengrajin rotan Cirebon. Saat terbangun ia terheran-heran, tahu-tahu ia sudah berada di kamarnya di atas pembaringannya.

“Ayahmu yang membopong masuk ke kamar,” tutur ibu Anwar sambil mempersiapkan makan sahur.

Seusai Shalat Subuh dan mendengarkan kultum Subuh, orang-orang belum beranjak dari mushala karena di luar gerimis. Anwar duduk-duduk mendengarkan orang-orang berdebat perihal malam seribu bulan.

“Bukan, sepertinya semalam bukan malam seribu bulan. Pagi ini langit mendung dan turun hujan. Bukannya kalau semalam lailatul qadar udara dan suasana pagi ini akan terasa tenang.”

Dalam hati Anwar girang karena semalam bukan malam istimewa turunnya Alquran. Ia masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya.

Malam ke-23 seusai Shalat Tarawih. Anwar masih juga berjaga di serambi rumahnya. Berkali-kali ayah dan ibunya menegur agar ia masuk ke dalam kamarnya.

“Ia Anwar dengar, sebentar lagi,” jawabnya. Kemudian, ia masuk ke dalam rumah, bukan untuk tidur, tapi guna menyeduh kopi agar matanya tahan melek.

Dalam hati Anwar heran, mengapa ayah ibunya tidak berburu malam seribu bulan. Ah, mungkin ayah dan ibu sudah pernah bersua dengan malam turunnya Malaikat Jibril ke bumi.

Tetapi kembali, Anwar terlelap di kursi panjang setelah lelah mendongak ke atas langit berkali-kali dan bulan masih juga sendiri dengan bentuk lengkungnya makin runcing macam celurit. Ia baru terjaga setelah mendengar ayahnya membangunkannya untuk makan sahur.

“Kamu tidur di luar lagi? Ayo bangun kita santap sahur dulu.”

Pulang dari mushala, tak terdengar orang-orang bedebat tentang lailatul qadar. Anwar kecewa karena merasa ia tertinggal kesempatan untuk menyaksikan malam keselamatan itu. Namun, saat pagi tiba, ia teringat sesuatu selain ciri udara dan suasana pagi yang tenang juga malam seribu bulan ditandai matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan.

“Pagi ini matahari sudah panas sekali! Kurasa semalam belum datang seribu bulan.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement