Selasa 07 May 2019 06:27 WIB

Riwayat Haji

Saya cinta Rasulullah. Makanya saya harus naik haji berkali-kali selama masih hidup

Riwayat Haji
Foto:

Waktu itu, jam delapan pagi. Matahari mendaki permukaan langit dari balik bukit Garincang. Seekor burung melayang-layang, sesekali hinggap di atas dahan. Isak tangis Simar, istri Rahnawi membuatnya terhisap memasuki kepedihan demi kepedihan di dalam hatinya. Misdar, anak mereka sakit keras. Ia cuma dibiarkan terbaring berhari-hari di atas ranjang.

Padahal bocah tujuh tahun itu harus segera dioperasi karena usus buntu. Sebagai kepala keluarga Rahnawi tentu merasa bertanggung jawab. Namun, laki-laki kurus kerempeng itu tidak sanggup membawa anak lelaki satu-satunya ke rumah sakit lantaran terhalang biaya.

Rahnawi cuma seorang petani. Kerja serabutan. Penghasilan tak jelas. Mendengar tangis istrinya yang panjang dan menyayat kian membuat Rahnawi merasa bersalah dan mengutuk dirinya sendiri atas ketakberdayaan yang mencekiknya.

“Haji Mashurat.” Gumam istri Rahnawi di antara isak tangisnya. Tubuh Misdar merasakan sakit yang teramat pada perutnya. Ia meronta-ronta, disertai jerit melengking. Dengan sandal jepit yang dikenakannya, Rahnawi melangkah terpiuh-piuh untuk sampai di rumah gedung bertingkat, dengan lampu-lampu serupa bunga mawar milik Haji Mashurat.

Gemetar merambat dari ujung tumitnya begitu ia tiba di rumah Haji Mashurat. Seorang pembantu menyambutnya. Menyilakan masuk.

Di ruang tamu berpendingin, segelas teh dihidangkan oleh pembantu. Dinanti-nanti Haji Mashurat belum juga menemui Rahnawi yang mengatur alur napasnya sejak tadi. Ia meremas-remas tangannya yang mulai basah.

Tidak lebih dari enam menit. Haji Mashurat telah keluar membawa sebungkus rokok. Rahnawi berdoa agar laki-laki bersorban di hadapannya bersedia membantu kesulitan yang tengah membelitnya. Dengan tersenyum, Haji Mashurat menyodorkan sebatang rokok. Rahnawi merasakan keringat mengucur di sekujur tubuhnya. Ia belum berani mengatakan maksud kedatangan.

“Tumben kau ke sini?” Haji Mashurat memulai. Mengurai ketegangan yang merambat sekujur tulang belulang Rahnawi. Ia tergagap untuk bicara. Ia melempar pandangan keluar jendela, pada baris pohon-pohon siwalan yang diterpa angin.

“Begini…” suara Rahnawi terputus. Ia seakan tak sanggup menguarai niat kedatangannya. Jam dinding di atas kepalanya berdetak tak seirama dengan laju degup jantungnya yang dirasakan payah. Sesaat kemudian, dengan menarik napas dalam-dalam ia bicara pelan seperti desir angin. “Saya butuh bantuan Mas Haji.” Haji Mashurat mengangguk-anggukkan kepala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement