Kamis 02 May 2019 16:49 WIB

Hujan Terakhir

Bersama hujanlah ia menemukan segalanya, dengan hujanlah ia menemukan semuanya

Hujan Terakhir
Foto:

Lelaki itu sekali ini benar-benar kesal pada hujan dan air yang turun. Ia amat khawatir kalau hujan ini akan menyebabkan parit meluap besar. Jika itu terjadi, lelaki yang sehari-hari bekerja menjajakan buah-buahan di sekeliling kota itu tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada anaknya, karena kira-kira tiga bulan lalu, di kampung sebelah seorang anak hanyut lalu meninggal karena tergelincir ketika menyeberangi parit.

Anak itu ditemukan tiga hari kemudian setelah tubuhnya membengkak, diisap belatung dan dikerubungi langau hijau. Mendengar kabar dari kampung sebelah itu, luka lamanya berdarah kembali. Ia tak dapat membayangkan betapa lumat dan hancurnya hati ayah anak tersebut. Akh, bukankah kehilangan seorang anak merupakan kemalangan terbesar dan keperihan terdalam bagi seorang ayah? Setidaknya menurut ia yang telah merasakannya.

Tak henti-hentinya ia berdoa dalam hati, “Selamatkanlah anak hamba ya Allah,” katanya gelisah. “Oh hujan, berhentilah. Berhentilah,” katanya mengiba.

Hujan belum juga berhenti. Hujan sekali ini bukan hujan biasa. Ini badai tengah hari. Petir dan kilat sambung-bersambung di langit. Hari mulai agak gelap.

Dipandangnya foto anaknya sekali lagi. Wow, manis nian senyum anak lelaki bungsunya ketika memegang ekor ikan belida saat mereka memancing di tepian rumah emaknya di kampung beberapa waktu lalu. Sungguh tak sabar ia ingin bertemu, memeluk, dan mencium anaknya itu. Tapi hujan ini? Petir ini? Kilat ini?

Dalam hati, tak henti-hentinya lelaki itu berdoa agar langit menghentikan air matanya. Tapi langit benar-benar tak mendengar kata hatinya, semakin lama semakin deras saja hujan yang turun. Begitu pula kilat dan petir. Kian lama kian menjadi-jadi saja.

Ah, kalau hanya pulang dalam hujan tak begitu dipusingkannya. Tak begitu dirisaukannya. Jika nanti flu, pilek, atau demam menyerang, cukup dengan sebutir para cetamol, insya Allah selesai. Tapi foto ini? Bagaimana nasib foto yang baru dibingkai ini? Sekuat-kuatnya bingkai dan plastik pembungkus tetap tak akan mampu menghadapi badai ini. Tak akan mampu bertahan dari hujan lebat ini.

Lelaki itu kembali memandang jalanan di balik sehelai papan berlobang yang menutupi pintu kedai. Hujan kian menggila. Petir berdentum-dentum.

“Ada kantong plastik, Buk?” tanyanya pada perempuan pelayan kedai.

“Apa, Pak?” tanya pemilik kedai mendekatkan telinganya kepada lelaki itu.

“Ada plastik, Buk?”

“Buat apa, Pak?”

“Untuk pembungkus ini.”

“Hoo. Kalau itu tak ada. Sangat besar itu, Pak. Kami hanya punya yang ini.”

Lelaki itu kembali menarik napas dalam. Ditiliknya kembali senyum anak bungsunya di foto. Hatinya semakin berdebar tak menentu.

“Baiklah, Buk. Cukup menutup sebagian foto ini jadilah,” katanya sambil meraih kantong plastik merah yang dijulurkan pemilik warung.

Hujan semakin deras. Petir semakin kuat. Senyum anaknya semakin manis di pelupuk matanya. Ia betul-betul sudah tak sabar segera pulang. Percikan hujan yang menikam bumi sudah bagai percikan bunga api saat menimpa air yang tergenang. Dulu, saat masih kecil, ia berlama-lama melihat percikan itu. Itu bagian pemandangan alam yang sangat menyenangkan hati. Tapi kini, semua itu tak dinikmatinya. Semua itu malah membuatnya resah.

Ia ingin segera pulang membawa foto dan obat demam buat anaknya. Tapi hujan siang ini seperti murka dengan kemarahan lelaki itu hingga ia pun marah dan kesal, dan menumpahkan kemarahannya tak sudah-sudah. Butiran hujan sudah seperti butiran biji jagung.

Kesabaran lelaki itu berakhir. Dimasukkannya foto ke dalam kotak buah di belakang sepedanya. Seusai minum dibayar, tanpa memandang kepada perempuan pemilik kedai dan orang-orang duduk merokok, minum dan menikmati hidangan di kedai itu, ia pun membuka pintu warung dan tergesa-gesa melangkah menuju sepedanya.

Perempuan penjaga kedai kopi ingin melarangnya, ingin menegahnya keluar. Tapi belum sempat berucap apa-apa, sepeda ontel berkotak kaca di belakangnya itu sudah menderu menembus badai, menerjang hujan ribut. Dikayuhnya sepeda sekuat-kuatnya. Ia heran, kini setang sepeda seolah berubah jadi setir perahu motor. Ia melaju kencang membelah air.

Lelaki itu sudah lupa pada foto anaknya. Ia hanya ingat mandi hujan. Ia kini merasa saat kecil dahulu. Main bola di depan masjid bersama kawan-kawannya. Tertawa menyambut suara petir yang menggelegar. Lalu berselancar sambil mengepakkan tangan dan telentang memandang garis-garis kilat yang tampak putus-putus di langit.

Air parit sudah meluap dahsyat. Jalan raya sudah bagaikan sungai yang banjir. Bus-bus pun sudah seperti kapal feri, mobil-mobil laksana speedboat, sepeda motor umpama pompong. Lelaki itu terus mengayuh sepedanya berpacu dengan kendaraan bermotor lainnya. Ia benar-benar telah sasau, telah seperti separuh gila mengayuh sepedanya seperti orang kesurupan.

Tak lama kemudian tiba-tiba lelaki itu tersentak. Tak ada orang di jalan. Ia hanya sendiri. Ia heran mengapa sepedanya dapat berjalan di atas air. Ia heran kenapa sepedanya jadi sampan jongkong yang dikayuhnya saat ia di kampung dahulu. Yang amat diherankannya lagi, ia kini sudah sampai ke depan rumah emaknya di kampung. Ayah dan ibunya sedang duduk di bendul pintu, mereka memandangnya dengan tatapan penuh kerinduan, seperti sudah lama menunggu kedatangannya.

Ia semakin heran, bukankah ayah dan emaknya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu? Apa yang terjadi? Pikirnya.

***

Istri, anak kedua, dan anak bungsu lelaki penjual buah itu sedang menggigil dalam demam tinggi. Mereka sudah menunggu sejak tadi. Rumah mereka telah digenangi air setinggi lutut. Listrik padam. Petir dan kilat terus sambung-bersambung di langit. Mereka bertiga duduk berselimut di atas ranjang menunggu kedatangan lelaki itu.

Sampai malam, lelaki yang mereka tunggu tak kunjung tiba. Dan mungkin tak akan pernah datang, selamanya, karena itu merupakan hujan terakhir dalam hidup lelaki itu, yang telah menyusul kedua orang tua dan anak sulungnya di alam baka karena hanyut dihempas banjir sejak tengah hari tadi.

TENTANG PENULIS

GRIVEN H PUTERA. Sastrawan Riau. Cerpennya dimuat di beberapa media seperti harian Republika, Riau Pos, Batam Pos, majalah Annida, majalah Sagang, dan majalah sastra Berdaulat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement