Jumat 19 Apr 2019 12:08 WIB

Mimpi dan Takdir

Mimpi bagi sebagian orang adalah bunga tidur, tapi mimpi bagiku menjadi nyata.

Mimpi dan Takdir
Foto: Rendra Purnama/Republika
Mimpi dan Takdir

Mimpi bagi sebagian orang adalah bunga tidur yang tidak perlu dirisaukan dan diabaikan saja. Namun, tidak bagiku, justru itu jadi hal yang aneh dan tidak biasa. Bagaimana tidak? Sedari kecil aku harus dihadapi oleh kenyataan bahwa mimpi-mimpiku menjadi nyata dalam kehidupan. Mengganggu? Iya, sangat. Aku sering bertengkar dan berdebat dengan keluarga karena pendapat yang aku utarakan tidak masuk akal bagi mereka.

Pernah suatu hari aku bermimpi melewati jalan di kebun-kebun yang biasa aku lalui saat berangkat dan pulang sekolah. Lalu aku kaget karena tiba-tiba seekor ular menggigitku tanpa ampun. Keherananku tenggelam oleh rasa sakit dan takut bahwa aku akan mati sebentar lagi. Ditambah lagi Fahmi, adikku, yang biasa bersamaku entah mengapa tidak bersamaku saat itu.

Ah … lalu aku terbangun dengan keringat dingin sambil ketakutan dan membuat terbangun semua orang di rumah, bapak, ibu dan adikku. Mereka bertanya mimpi apa dan aku ceritakan bagaimana kejadian yang aku alami. Hanya mimpi, begitulah kata bapak dan ibu. Namun, tidak dengan adikku, dia sedikit terpengaruh dan tidak mau melewati jalan itu untuk sekolah besok pagi.

“Ini semua gara-gara kamu, Bapak harus ngantar kalian berdua ke sekolah pake motor. Jadi telat ngantor deh Bapak. Kenapa sih harus percaya sama mimpi segala?” Kata bapak sambil bersungut-sungut.

Kan udah sering dan terbukti, Pak. Sekali ini aja percaya, Pak,” kataku memelas.

Ternyata terbukti, pada sore hari kami mendapat kabar yang menggemparkan, ada seorang anak sekolah jatuh pingsan ditemukan oleh warga di jalan yang biasa aku lalui tersebut. Setelah dianalisis penyebabnya ditemukan gigitan seperti gigitan ular. Dia dibawa ke rumah sakit dan alhamdulillah selamat.

Tuh kan, Pak. Mirip sama mimpi aku, Pak,” kataku meyakinkan Bapak.

“Bapak tetep gak percaya. Tidak mungkin hanya karena mimpi kita harus waswas. Percaya sama Allah, bukan sama mimpi, Tur. Hiduplah apa adanya, normal saja. Toh kalau kita dapat musibah itu sudah di atur dari sananya,” kata bapak lebih yakin lagi. Bapak memang keras kepala dan kekeh pendirian, sepertinya sifatku yang kekeh dengan pendapatku sendiri sepertinya menurun dari sifat Bapak.

“Tapi Pak, kejadiaan barusan itu salah satu bukti kalau mimpiku benar Pak,” aku mengulang kata-kataku.

“Memang seberapa persen mimpimu jadi nyata. Semuanya? Tidak kan? Kita harus berpikir logis karena hidup di dunia nyata, bukan dunia mimpi.” Bapak menasihati.

Bener Fatur, dengerin kata bapakmu saja sana,” Ibu menimpali dan selalu mendukung kata-kata Bapak.

“Iya Bu…” aku hanya bisa berkata begitu tidak berani menyanggah kata-kata ibu.

Aku tetap mendongkol dalam hati, seandainya Bapak berada pada posisiku, apa Bapak akan tetap berpendirian seperti itu. Apakah akan sepertiku dihantui perasaan waswas dan gelisah akan apa yang akan terjadi. Lebih baik jika itu adalah mimpi yang baik, alih-alih, aku selalu mendapat mimpi buruk dan tidak mengenakkan.

Udah berdoa sebelum tidur belum, kalau enggak kan mimpinya datang dari setan yang ingin menggoda kita, Tur,” kata Wahid temanku.

“Sudah, tapi tetap saja bermimpi. Harus bagaimana lagi, Hid?

“Mungkin kamu kurang yakin dengan doamu. Allah kan sejalan dengan pikiran kita. Jika kita berprasangka baik pada-Nya, tentu ia juga berprasangka baik pada kita. Ini gue dengar dari ustaz ya, salah satu penyebab doa terkabul adalah keyakinan kita bahwa doa akan terkabul. Begitu sih yang gue denger,” kata Wahid dengan bijaksana.

Dia satu-satunya teman yang aku percaya karena terkenal di kalangan teman-teman sebagai orang yang sabar sekali. Beruntungnya aku bisa dekat dengan dia.

“Barangkali lo benar Hid, selama ini gue selalu takut akan mimpi gue. Bapak selalu bilang jangan takut justru setan makin senang dan Allah makin jauh. Apa ketakutan gue sama mimpi lebih dominan dibanding takut gue sama Allah ya? Gue jadi ngeri,” kataku sambil menutup muka dengan tangan.

Namun, seberapa keras aku mencoba saran dan nasihat orang tua dan teman, tetap saja belum menampakkan hasil yang signifikan. Sehingga aku lalui saja hidupku apa adanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement