Ahad 14 Apr 2019 15:21 WIB

Langit Senja di Atas Kabah

Aku mencari perempuan dengan dua lesung pipi di depan Ka'bah.

 Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10).  (Hassan Ammar/AP)

Rombongan jamaah umrah Rafa Lintas Cakrawala kembali ke hotel. Namun, aku minta izin kepada Ustaz Mak mun untuk balik belakangan.

Aku mengerjakan shalat Hajat dan Istikharah. Mohon karunia sekaligus petunjuk Allah.

Aku mengetik kalimat di HP-ku, Assalamualaikum, Neneng. Ini saya Fikri. Mohon maaf, saya tidak sopan, telah meminta nomor Arab Saudi Neneng melalui Ustazah Nina. Bolehkah saya minta waktu untuk bertemu Neneng besok sore, sekitar jam 18.30 di depan Ka'bah, tepatnya di pintu keluar orang- orang yang akan sa'i seuai melaksanakan tawaf?

 
Lebih satu jam tidak ada jawaban. Hatiku gelisah. Jangan-jangan Neneng tersinggung. Atau, mungkin dia sudah punya calon suami lagi, lalu untuk apa bertemu secara pribadi denganku?
 
Aku menarik napas panjang. Suasana Masjidil Haram tak pernah sepi. Inilah tempat di muka bumi yang setiap saat selalu dipenuhi manusia yang selalu bergerak: shalat, tawaf, membaca Alquran, dan lain-lain.

Namun, hatiku saat ini terasa begitu sunyi. Betapa aneh hati manusia. Kita merasakan kesendirian di tengah puluhan ribu, bahkan ratusan ribu orang.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku terkejut dan langsung melihat layar. Dari Neneng.

Waalaikumsalam, Kang. Punten, HP Neneng lowbatt dan baru selesai di-charge. Insya Allah besok Neneng datang ke depan Ka'bah.

Spontan aku sujud syukur. Allahu akbar. Alhamdulillah ya Allah.

Aku segera membalas japri Neneng. Hatur nuhun, Neneng. Sampai ketemu besok.

Aku menyelesaikan tawaf putaran ketujuh. Lalu shalat sunah di salah satu tempat paling makbul di jagat raya ini: Hijir Ismail.

Ya Allah, terima kasih atas undangan-Mu, sehingga hamba dapat hadir di rumah-Mu. Hamba berharap, semoga bisa sesering mungkin mengunjungi Baitullah-Mu. Dan betapa hamba ingin kembali ke mari bersama jodoh yang Engkau pilihkan untuk hamba. Di depan Ka'bah-Mu ini, sebentar lagi hamba akan bertemu dengan seorang wanita salehah bernama Neneng Azzahra.

Jika dia adalah wanita yang tepat untuk menjadi istri bagi hamba, ibu bagi anak- anak hamba, dan menantu bagi ibu hamba, maka mudahkanlah urusan ini bagi hamba.

Namun, jika menurut-Mu ia bukanlah orang yang tepat bagi hamba, anak-anak ham ba, dan ibu hamba, sesungguhnya Engkau lebih tahu dan Mahatahu jodoh yang terbaik bagi hamba. Aamiin.

Aku beranjak dari Hijir Ismail dan menuju ke arah keluar tempat para jamaah umrah dan haji melakukan sa'i. Mataku mencari sesosok wajah. Pemilik lesung di dua pipinya.

Apakah Neneng benar-benar akan datang ke tempat ini? Tanyaku dalam hati.

Mengapa aku senekat ini, mengajak seorang wanita bertemu di depan Ka'bah, di antara ribuan ribu, bahkan puluhan ribu orang yang melakukan tawaf?

Namun, ini adalah suara hati. Aku ingin bertemu dengannya di tempat ini, menyambungkan kembali cita-citaku 10 tahun lalu.

Hatiku menyapukan pandangan di antara para jamaah yang tengah shalat sunah maupun berdoa di pinggir Ka'bah. Aku berjalan perlahan, berharap segera menemukan sosok yang 10 tahun lalu aku semogakan, tapi kemudian namanya menghilang dari buku harianku.

Tiba-tiba mataku menangkap sosok itu. Wanita berlesung di kedua pipinya. Matanya pun tampak sedang mencari seseorang.

Ketika pada satu titik pandangan kami bertemu, entah siapa yang lebih dulu tersenyum. Neneng mengenakan gamis putih yang membuat kecantikannya makin memancar.

Wajah yang pertama kali kulihat di masjid kampus IPB 10 tahun dulu, saat ia masih mengenakan mukena dan baru saja usai melaksanakan shalat Dhuha. Bergegas aku menghampirinya.

"Assalamualaikum, Neneng. Hatur nuhun berkenan memenuhi undangan saya," kataku tak mampu menyembunyikan kegembiraan.

"Waalaikumsalam," Kang Fikri.

"Punten, saya minta bertemu di sini. Tempat yang paling sakral di muka bumi, tetapi tidak mudah janji bertemu di antara ribuan, bahkan puluhan ribu orang yang tak henti-hentinya tawaf dan shalat sunah."

"Tidak apa-apa, Kang. Allah mempertemukan Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah, setelah keduanya terpisah sekian tahun. Lalu, apa susahnya bagi Allah mempertemukan kita di depan rumah-Nya?" ujarnya seraya tersenyum lembut.

Subhanallah, betapa indah dan menyejukkan kalimat yang diucapkannya. Hatiku terasa seperti disiram embun.

Sejenak aku ragu harus memulai dari mana. Kemarin, saat aku menelepon Adang dengan nada marah, ada satu kalimatnya yang mengejutkanku, "Fik, Neneng sejak lima tahun menjanda. Suaminya wafat saat kecelakaan pesawat di Pontianak. Ketika itu suaminya sedang ada urusan bisnis di kota itu. Mereka tidak dikaruniai anak."

"Mumpung engkau dan Neneng berada di Makkah, kejarlah Neneng. Semoga ia memang wanita yang ditakdirkan Allah menjadi jodohmu. Sekali lagi, aku mohon maaf, dulu pernah menjadi penghalang cintamu kepada Neneng."

"Neneng, punten, kenapa Neneng kemarin gak bilang kalau sekarang Neneng sudah sendiri lagi?" Akhirnya mampu juga aku menyelesaikan kalimat itu.

"Kang Fikri kan gak nanya," sahutnya sambil tersenyum.

Subhanallah, mengapa setiap kali melihat senyumnya, hatiku berdebar? Dan debaran ini sama persis 10 tahun lalu.

"Neng, di depan Ka'bah, di rumah Allah yang sangat mulia ini, saya mau bertanya satu hal: maukah Neneng menjadi menantu ibu saya, menjadi istri saya, dan ibu bagi anak-anak kita kelak?"

 
Ia menunduk. Saat ia tengadah, kulihat danau kecil di matanya.

"Kang Fikri serius?"

"Ya."

"Kita hanya bertemu beberapa kali di kampus IPB. Dan kini Neneng seorang janda. Apakah Kang Fikri yakin kepada Neneng?"

 
"Saya yakin kepada Allah. Saya yakin, cinta akan selalu menemukan jalannya, Neng. Meski berliku dan dihadang badai, pada akhirnya cinta akan sampai kepada orang yang sudah dituliskan takdirnya di Lauh Mahfuzh."

"Baiklah, Kang Fikri. Mohon bimbing Neneng agar mampu menjadi istri yang salehah bagi Kang Fikri dan anak-anak kita kelak."

"Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah."

Aku video call ibuku di Cianjur.

"Assalamualaikum, Bu."

 
"Waalaikumsalam, Fik."
 
"Ibu tahu siapa wanita di samping Fikri?" Aku mengarahkan ponselku agar ibuku bisa melihat wajah Neneng.

"Dia Neneng Azzahra. Wanita yang 10 tahun lalu Fikri katakan calon mantu Ibu."

 
"Assalamualaikum, Bu," sapa Neneng.

"Waalaikumsalam," terdengar jawaban ibuku.

"Ibu, sekarang Fikri dan Neneng ada di depan Ka'bah. Sepulang umrah, Fikri akan bawakan untuk Ibu, seorang calon menantu yang salehah. Wanita yang pernah Fikri janjikan dulu kepada Ibu."

 
"Bagaimana ceritanya, Fik, kok kamu bisa ketemu Neneng di Masjidil Haram?"
 
"Panjang ceritanya, Bu. Yang penting Ibu ridha dan ikhlas."
 
"Ibu selalu mendoakan kamu agar dapat jodoh wanita yang solehah. Ibu udah kangen menimang cucu. Kalau ternyata kamu mendapatkan jodohmu di depan Ka'bah, Ibu pasti senang dan ridha."

"Alhamdulillah. Terima kasih, Bu. Ibu selalu mendoakan Fikri."

 
"Mana Neneng, Fik? Ibu mau bicara."
 
Aku mengarahkan kamera ponsel ke Neneng. "Saya, Bu."
 
"Neng, terima kasih mau menerima anak Ibu, Fikri. Kami hanya orang biasa. Orang desa. Ibu guru SD, almarhum ayah Fikri seorang petani. Tetapi sejak kecil, Fikri adalah anak yang rajin shalat dan mengaji.

"Ibu yakin, dua hal ini jadi modal kalian untuk menempuh hidup ke depan."

 
"Terima kasih, Ibu mau menerima saya apa adanya. Padahal kita belum pernah bertemu."
 
"Feeling seorang Ibu, Nak."
 
"Sekali lagi, terima kasih, Bu."
 
"Fik."
 
"Ya, Bu."
 
"Sepulang umrah, kita segera ke rumah orang tua Neneng. Hal yang baik jangan ditunda-tunda. Ibu juga udah gaksabar, ingin memeluk Neneng."
 
"Baik, Bu. Doakan kami, semoga meraih umrah mabrur dan makbul."

"Ibu doakan."

Selepas video call dengan ibuku, aku menatap Neneng. Ia tersenyum manis.

Teramat manis. Mata lembutnya bercahaya.

Menjelang Maghrib, makin banyak jamaah memadati Masjidil Haram. Suara talbiyah terdengar tak putus-putusnya. Angin membelai lembut wajah Neneng.Matanya mengerjap manja. Sementara langit senja di atas Ka'bah merona jingga.

Makkah-2018

Depok-2019

TENTANG PENULIS

IRWAN KELANA. Wartawan Republika yang juga seorang cerpenis dan novelis.

Ia menulis sajak, cerpen, novel, dan artikel sejak kelas satu SMA (awal tahun 1980-an). Karya-karyanya tersebar di sejumlah media nasional maupun daerah.

Ia telah memenangkan 14 kali penghargaan tingkat nasional dalam bidang penulisan cerpen, novel, artikel dan karya tulis ilmiah. Ia juga telah menerbitkan sekitar 25 buku novel, cerpen, biografi, profil perusahaan, dan buku-buku Islam, antara lain Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, Biarkan Cinta Menemukanmu, Hari-Hari Bersama Bang Arifin, Mengapa Kami Memilih Bank Syariah, Inovasi tanpa Henti, dan Kegigihan Sang Perintis. Irwan aktif memberikan pelatihan sastra dan jurnalistik di dalam maupun luar negeri, khususnya di kalangan mahasiswa Indonesia di Al Azhar University, Kairo, Mesir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement