Jumat 12 Apr 2019 13:40 WIB

Hingga Nabi Musa Pun Cemburu

Nabi Musa memohon 'Ya Tuhanku, jadikanlah aku salah satu umat Muhammad'

Hingga Nabi Musa Pun Cemburu
Foto:

Malam itu Kiai Adib duduk termenung di meja makan. Piring berisi bandeng goreng, sambal matah dan tumis kangkung panas mengepul tak dijamah sama sekali. Bu Nyai yang sibuk membolak-balik tempe goreng di wajan sesekali menatap cemas. Ia mengkhawatirkan asam lambung suaminya naik lagi. Sejak pagi, sesuap nasi pun belum disentuh. Bu Nyai tahu, suaminya

“Makan dulu, Pak. Jangan terlalu dipikirkan.”

Bu Nyai duduk, meletakkan piring tempe goreng panas di atas meja. Kiai Adib masih diam.

“Bagaimana aku ndak kepikiran, Bu. Meskipun keseharianku terlihat energik, aku sudah tua. Lha wong anak satu-satunya. Ndak mungkin aku menyerahkan urusan kepemimpinan pesantren ini ke orang lain.”

Nyai Khodijah diam. Perempuan itu kini juga kehilangan selera makan. Ia merasa perkataan suaminya tidak ada yang salah. Wajar, jika seorang ayah menginginkan anaknya meneruskan perjuangan kerasnya selama ini. Apalagi berupa “ladang” akhirat.

“Aku yakin Abdul Bari bisa mengemban amanah ini. Ilmunya mumpuni. Jiwanya mandiri. Hanya saja, kenapa dia lebih memilih jadi tukang seduh kopi?” Kening Kiai Adib mengkerut. Heran. Tadi pagi ia sempat mengirimkan pesan singkat perihal amanahnya tersebut. Tak ada balasan sama sekali.

Nyai Khodijah juga mengingat-ingat masa kecil anaknya dulu. Bari memang tidak suka diperlakukan berlebihan oleh santri-santri bapaknya di area ndalem. Anak itu selalu menolak untuk lewat di area pesantren. Ia lebih suka memutar lewat pintu belakang daripada risih menyaksikan semua santri berdiri berderet-deret dengan wajah menunduk, saat ia berjalan.

Seandainya Bari mau, jari telunjuk bisa menjadi “mesin pengendali” para santri. Minta ini itu. Suruh sana sini. Pasti dituruti. Ke mana pun selalu diikuti dan dijaga. Bari menganggap hal itu membuatnya tidak leluasa. Tidak bebas. Terkadang sandalnya pun selalu dipegangi. Sering Bari malu sendiri ketika berpapasan dengan teman-teman sekolahnya.

“Aku malu, Bu. Aku bukan anak kecil lagi,” keluh Bari waktu itu.

“Mereka memperlakukanmu begitu untuk ngalap berkah, Le. Menghormati anak guru sama nilainya dengan menghormati guru mereka sendiri.”

“Aku tetap tidak suka. Ngalap berkah ya sama Bapak, bukan sama aku.” Ia kembali bersungut-sungut.

Nyai Khodijah tetap diam seraya tersenyum. Sesekali ia usap kepala anak semata wayangnya dengan lembut. Watak anak ini memang berbeda dengan sebagian anak-anak kiai lain. Lebih suka berteman dan bermain dengan anak-anak kampung sekitar daripada bermain di area pesantren.

“Bu … ?” panggil Kiai Adib.

“Eh … Iya, Pak?” Nyai Khodijah menggeragap.

“Melamun juga tho rupa nya?”

Perempuan itu hanya tersenyum. Lalu, buru-buru mengambil nasi dan menyendok tumis kangkung yang tidak panas lagi. Di sunyi malam tersebut, Kiai Adib dan istrinya berusaha menyuap nasi, pelan diiringi perasaan yang tak menentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement