Ahad 07 Apr 2019 13:46 WIB

Pertunjukan Monolog

Nyatanya kita lebih sering tertipu oleh apa yang sampai pada mata.

Pertunjukan Monolog
Foto:

Para penonton sangat serius menghunjamkan tatapan ke panggung. Apakah mereka benar-benar menikmati pertunjukan atau sekadar mencairkan kebekuan-kebekuan setelah seharian mendekap di dalam kantor, aku tidak tahu.

Penonton yang berdiri di sisi kanan semakin merangsek maju saat Gomblo berhenti mengetik, turun dari panggung, mondar-mandir memelototi penonton seraya berkelakar tentang nasib tak beruntung yang kerap menerpa para pekerja sastra.

“Mau?” Perempuan itu menawarkan roti yang masih terbungkus plastik.

“Terima kasih.” Aku menatap wajahnya.

“Wajahmu mengingatkanku pada seseorang.”

“O, ya?” Dia menoleh. Matanya mengabarkan bahwa dia tidak percaya dengan apa yang kukatakan. “Wajahku memang pasaran.”

“Aku tidak bilang begitu.”

“Aku tahu. Maksudku, di dunia, kadang, manusia yang satu dengan yang lain memiliki kemiripan wajah. Hanya satu yang membedakan, sidik jari. Jadi, wajar kalau kau merasa melihat seseorang pada diriku.”

“Kau sangat mirip.”

“Kita tidak bisa menggeneralisir semua hal hanya dari tampilan fisik yang sampai pada mata. Indra bisa menipu. Sendok yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air bisa kelihatan bengkok, padahal tidak. Wajah lebam atau benjol belum tentu habis dianiaya. Boleh jadi baru selesai operasi wajah.”

Aku terkekeh. Ingatanku langsung meloncat pada seorang perempuan yang diberitakan telah dianiaya hanya karena wajahnya lebam-lebam, padahal setelah ditelisik, menurut pengakuannya, ternyata baru selesai operasi plastik. “Nyatanya,” kataku sambil melirik bentuk matanya yang indah, “kita lebih sering tertipu oleh apa yang sampai pada mata. Aku setuju denganmu. Apa yang terlihat tidak selalu seperti itu.”

“Indra bisa menipu, tapi akal tidak.”

“Tunggu, tunggu, tunggu…” Aku memotong kata-katanya. “Jika semua orang berpikir seperti itu maka tidak akan ada orang yang percaya pada indra. Manusia akan berbondong-bondong menuhankan akal. Apa yang tidak sesuai dengan akal akan diragukan kebenarannya.”

“Indra dan akal hanya alat untuk memastikan kebenaran. Apakah benar laut berwarna biru? Jangan-jangan warna laut itu bukan yang sebenarnya. Yang sebenarnya, barangkali, adalah pantulan warna langit.”

Aku mengangguk-angguk. Kami kembali menikmati pertunjukan. Kupikir akan segera selesai, tapi ternyata tidak. Anehnya, pikiranku tidak bisa lepas dari perempuan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement