Rabu 03 Apr 2019 14:09 WIB

Aku Anak Millenial (Cerpen)

Ragam prestasi tampak di mata orang. Sikap tegas, luas pergaulan, senyum menawan.

Aku Anak Milenial
Foto:

Bagi Randy, lelaki itu. Sama sekali bukan masalah. Ia melakukannya bukan karena kesalahan. Justru, untuk keuntungannya baik pribadi dan perusahaannya. Ia menilik, prestasi perusahaannya semakin meninggi, bahkan mendunia.

Ia akan berurusan dengan dunia. Tak lagi sembarang instansi. Maka, sekretaris pribadinya harus berpakaian formal. Tidak sembarang berbuka fisik seperti biasa. Apalah kata dunia, menemukan sekretaris berbusana seperti itu? Bahkan, diprediksi ia tak akan lagi bermain dengan wanita berdarah Jepang-Indo itu.

Bukan lantaran ia mulai serius jenjang internasional. Namun, baginya Naomi hanyalah satu dari sekian debu wanita muda dan cantik. Perhitungannya, seketika karier melejit. Terhampar wanita tak kalah cantik dibanding Naomi. Singkatnya, habis manis sepah dibuang.

 

Diraihnya sebuah remote. Keluarlah sebuah layar lebar di atas kepalanya. Ia tekan beberapa tombol. Timbul diagram bak harta karun. Beberapa presentase dari segala bilik di kantor. Atas namanya. Menduduki peringkat tertinggi. Rating tertinggi di mata publik. Senyum lebar terulas. Tak urung kebanggaan disandangnya.

 

Bunyi ‘ting’ terdengar. Tampak seseorang berbisik. Pesan suara masuk dengan cepat.

 

“Randy! Terima kasih untuk tempo lalu. Entah apa jadinya aku tanpa dirimu. May be, aku bermalam dalam bui. Dan untuk fee sudah kukirim. Hahaha…tak kusangka, semua di luar dugaan. Dan aku belum puas melunasi utang budimu. Bagaimana jika kita berkencan? Berdua saja….How? Everywhere. Sesuai keinginanmu, ucapan terima kasih seorang Mia Catherine, aktris kelas dunia. Sejujurnya aku ingin bertemu. Tapi, tidak sekarang. Aku di Inggris. Namun, jikalau kau ingin. Hubungi aku. I’ll be there. Untuk ‘kencan’ tadi, i wait it. ‘Jangan kau buat seorang wanita menunggu’. Apalagi seorang Mia Catherine.. Okay, see you any more, Mr. Randy…”

 

Lelaki itu menyeringai. Kalian lihat? Satu tarikan napas. Tanpa jeda. Tanpa jawaban. Siapa dia?

 

Mia, aktris muda internasional. Terjerat perdagangan obat terlarang. Bahkan, ada video menayangkan serah terima dengan para bandar. Tapi, haa…ini Indonesia! Mudah memanipulasi. Bagaimana? Kuputar otak sekali-dua kali. Selesai!

Sekali lagi, bunyi denting terdengar. Tanpa menoleh, mesin itu berbicara.

 

“Mr Randy, proyek pembangunan satu unit rumah di kota D sudah selesai. Sesuai pilihan Anda. Hari ini kami kerjakan.”

 

“Mr Randy, ada tawaran dari beberapa pihak untuk kerja sama. Tidaklah sedikit. Seusai pesan ini, saya kirim datanya. Terima kasih.”

 

Alat itu berdenting lagi, sembari mengeluarkan beberapa lembar kertas bercap simbol CV-nya. Satu-dua kali alat itu berdenting. Dengan suara berbeda. Macam laporan berbeda pula. Tetapi, berbuah senyum lebar nan bangga. Bagaimana tidak, apalah arti kesibukan dengan satu kali putar kepala, berbuah jutaan nikmat?

 

“Mr Randy, kontak dari Hongkong…”,

 

“Pak Randy, laba yang didapat dari…”, “Mr. Randy….”, “Pak Randy….”, “Kota Provinsi E siap menerima…”, “Tilang minyak di Pulau F menyetu…”

 

Alat itu masih berdenting. Ia menyimak. Senyum bangga.

 

Yah, kau begitu hebat, Randy…desisnya.

 

Tanpa disadari kopi panasnya tumpah tersenggol belasan kertas. Dan ia terbangun.

 

“JOKO…!!!!!! tangi le! Wis awan! Ijik turu! Saban sore koyo ngene cah gerang??!!! Ayo, pakani pithikmu dhisik! Ra pakani, ra enthuk madang, ndang!!!!”

 

Lelaki muda berstelan kaos oblong bercelana pendek lusuh selutut terbangun dari mimpinya. Bangun terduduk, seakan kilatan petir baru saja menyambar di telinganya. Apa gerangan? Tubuhnya basah tersiram air ember yang dibawa seorang wanita paruh baya yang tak lain ibunya sendiri.

 

Le..le…wis awan, nglilir bae kerjaane, opo sing mbok impike ha?? Rewang wae rung pener…..Ndang, ewangi bapakmu…!!!”

 

Lelaki itu mengerjapkan mata sekali dua kali, mengacak rambutnya, memukul kedua pipinya. Di mana tadi? Mana baju kebanggaanku? Di mana singgasana putarku? Mana Na omiku? Mana data presentase yang menggiurkan itu? Mana gedung bertingkat itu? Di mana?

 

Sesaat masuk seorang lelaki tua berpeluh keringat. Bapak.

 

Le..le…senengane lho ngimpi, ngelilir kok untung-rugi, wis wayahmu nek kowe re wang tenanan…ndang raup-raup, menyang sawah, ngewangi lik Dul…”

 

Hening. Seakan oksigen lenyap sesaat. Satu-dua, lantas ia hempaskan dirinya lagi di atas dipan satu-satunya di rumah berdinding rotan itu.

Lhale, lha kok balek mapan maneh, he!….cah gerang gaweyane ra turu bae…tangi-tangi…

 

Selagi bapaknya membangunkan anak sulungnya sendiri. Lelaki muda itu menggerutuk dalam hati. Berkicau dalam ceracaunya.

 

Ternyata, itu cuma mimpi. Ternyata itu cuma khayalan. Ternyata itu cuma..

 

Le..le…nak dhuwe angan yo ojo diangan-angan wae, dilakokke, panggih atine…..”,

 

Sang bapak menggeleng melihat anak ‘mineall’-nya tersungkur dalam ceracaunya. Jadi, semua itu hanya. Mimpi.

 

TENTANG PENULIS

ALIFAH YASMIN. Penulis adalah pengajar di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri I di Mantingan Ngawi Jawa Tengah. Selain mengajar, penulis juga menempuh studi strata satu di Universitas Darussalam (Unida) Gontor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement