Selasa 02 Apr 2019 15:55 WIB

Calon Kepala Dinas

Demi menjadi kepala dinas, Resman memutar otak mencari 'uang jago'

Calon Kepala Dinas
Foto:

Sementara hari-hari pengangkatannya semakin dekat, yang Resman rasakan justru sakit kepala yang terus kambuh beberapa hari belakangan. Sebentar sakit kepala itu hilang, sebentar kemudian muncul lagi, seperti gelombang air laut yang menepi ke pantai.

Merintih menahan sakit kepalanya, Resman teringat percakapan dengan kawannya saat masih bertugas meliput. Sore itu hujan deras. Resman dan kawannya berteduh di pinggir jalan, di bawah atap warung pangkas Madura yang sudah tutup. Sementara itu, berita yang telah terkumpul belum selesai mereka tulis.

“Yang melekat pada pejabat itu dua: kebodohan dan dosa,” kata kawannya.

“Menurutmu, mana yang lebih dulu: kebodohan atau dosa?”

“Kebodohan dulu. Karena kebodohan makanya dia berbuat dosa untuk menutupinya,” begitu menurut kawannya.

“Terbalik kau! Berbuat dosa dulu, baru jadi bodoh. Karena berdosa makanya pejabat itu jadi bodoh. Semakin berdosa, akan semakin bodoh ia,” bantah Resman.

“Kau yang terbalik! Kalau dia tidak bodoh, tentu dia tidak akan berbuat dosa. Dia tidak akan melakukan hal-hal yang mengarah ke dosa, menghasilkan dosa, bahkan menyentuh dosa.”

“Jadi, kau percaya kalau pejabat yang berbuat dosa itu bodoh? Kau percaya bahwa mereka berbuat dosa karena kebodohannya?”

“Ya, bukankah itu interpretasi kebodohan yang sesungguhnya? Bahwa bodoh akan menghasilkan perbuatan yang salah, sedangkan pintar akan menghasilkan perbuatan yang benar?”

Resman tertawa mengejek, tak mau kalah berdebat. “Justru,” katanya, “karena mereka tidak bodoh, dengan kata lain, karena mereka pintar makanya mereka bisa berbuat dosa. Kau tahu, untuk berbuat dosa itu butuh kepintaran, bukan kebodohan. Orang bodoh tak akan bisa berbuat dosa.”

Lamunan Resman buyar saat teleponnya berdering. “Sudah diputuskan tawaran saya?” tanya seseorang dari ujung telepon.

“Sudah, Pak. Tapi, uang saya belum cukup. Sekolah-sekolah belum pada nyetor. Alasan mereka dana BOS sudah tipis karena dipakai untuk keperluan buku-buku siswa.”

“Suruh mereka batalkan pesanan buku itu. Kau ini gimana, kok bodoh amat! Tak bisa kau jadi kadis kalau begini! Cari uang 500 juta saja sebulan tak dapat-dapat!”

“Siap, Pak. Saya upayakan.”

“Cepat! Waktumu sampai besok. Banyak yang ngantre posisi itu! Mereka semua sudah siapkan uangnya. Aku pilih kau karena aku kasihan lihat kau. Kau bilang kau pengin jadi kadis makanya aku tawari kau. Kalau kau tak sanggup, terpaksa nanti kukasih sama orang.”

“Siap, Pak.”

Resman bingung. Semakin hari ia menjadi semakin bodoh. Semakin ia membutuhkan uang, semakin ia jauh dari pintar. Pada saat-saat seperti ini ia harusnya lebih pintar, bahkan harus sangat pintar, bukan jadi bodoh seperti yang pernah dikatakan kawannya itu.

Ia memutar otak. Lantas muncul ide di kepalanya. Beberapa kepala sekolah akan berakhir masa jabatannya. Ini kesempatan emas, pikirnya. Mereka bisa ia kutipi Rp 20 juta per orang jika ingin tetap bertahan sebagai kepala sekolah. Bukannya ia tak tahu bahwa yang berhak mengutip uang itu bukan dia melainkan wali kota. Tapi, setelah ia pikirkan, itu urusan belakangan. Kepala-kepala sekolah itu akan mengira bahwa wali kota memerintahkan ia untuk mengutip.

Ada 12 kepala sekolah yang akan berakhir masa jabatannya bulan depan. Dari situ ia akan mendapat Rp 240 juta. Uang itu cukup sebagai syarat yang diminta wali kota jika digabung dengan Rp 300 juta yang ia kumpulkan selama sepuluh tahun terakhir. Sebagian kecil akan ia siapkan untuk membungkam wartawan dan orang-orang LSM, yang sehari-hari bertandang ke kantornya, menanduknya dengan koran yang diselipkan di kantong belakang celana.

***

Tak seperti biasanya, mereka menolak diberi Rp 500 ribu. Padahal, biasanya disalami Rp 50 ribu saja pun mereka sudah senang. Mereka ada yang meminta Rp 5 juta, ada yang meminta Rp 10 juta. Rata-rata meminta di atas Rp1 juta. Demi kabar soal upeti Rp 20 juta per kepala sekolah itu tidak bocor ke publik, Resman menyanggupi permintaan mereka. Alhasil, uang Rp 240 juta yang sudah ia kumpulkan tinggal tersisa separuhnya.

Para penanduknya bubar. Tinggal Resman seorang di kantornya, sendiri meratapi dirinya, dan bertanya dalam hati. Aku ini bodoh atau pintar?

Keesokan harinya, Resman baru sadar, kawannya tak ada di antara wartawan yang ia suap kemarin. Pada halaman depan koran tempat kawannya bekerja yang tengah ia pegang, tertulis namanya dalam judul ‘Ingin Jadi Kadis, Resman Pungut Rp 20 juta per Kepsek’.

TENTANG PENULIS

ABDUL MUAMAR lahir di Perbaungan tahun 1988. Bergiat di Sahabat Gorga, sebuah yayasan dengan misi menggiatkan literasi untuk anak-anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement