Kamis 28 Mar 2019 13:31 WIB

Arti Sesak di Dada Fahrie

Sorot matamu hanya satu-satunya di dunia ini

Arti Sesak di Dada Fahrie
Foto: Rendra Purnama/Republika
Arti Sesak di Dada Fahrie

Dekade 90-an tenggelam dan dasawarsa selanjutnya naik ke permukaan. Perkembangan teknologi bergerak perlahan, kemudian semakin cepat. Penemuan baru hampir tiap tahun hadir di sisi kehidupan, tidak seperti sebelumnya yang membutuhkan waktu lebih lama. Kertas bertintakan kabar-kabar berbalas mulai tak menemukan ruang di masa ini. Bentuk perhatian seakan menyesuaikan perubahan zaman.

Di pinggir jalan raya, telepon umum memang masih terjamah pelanggan setianya. Akan tetapi, sentuhan teknologi memermak perangkat telepon menjadi lebih mungil, serta-merta nyaman dalam genggaman dan dapat terselip di saku celana. Jarak bisa dipangkas entah dari mana saja. Segenap manusia berhak memiliki, tak terkecuali Aida.

Kebutuhan tengah mengembang dalam kehidupan Aida. Tatkala ia harus menerima atau memberi kabar sesegera mungkin. Itulah sebabnya ia harus sering mampir ke sebuah penyedia layanan pulsa elektrik untuk memenuhi syarat sebagai pelaku informasi melalui ponselnya. Tanpa ia terka, Tuhan menyediakan ruang pertemuan tanpa hiasan janji-janji sebelumnya. Bahkan, perkiraan terlalu jauh dari pikiran mereka.

“Halo, apa kabar?” Sapaan seorang lelaki yang baru saja datang dan mendahului pembicaraan pada siang itu. Ia menyeret satu kursi duduk lalu meletakkannya di sebelah Aida.

Aida mengangkat kepala yang sebelumnya tertuju pada layar mini seluler, memastikan saldo pulsa sudah terisi. “Hai Fahrie, kabarku baik, kau sendiri bagaimana?” jawab Aida semringah sembari memperhatikan raut wajah Fahrie.

Mereka sudah lama tak mengadu tatapan sejak lulus dari sekolah menengah. Memang tak ada yang berubah dari paras Fahrie, hanya panjang kakinya yang telah melebihi dirinya.

“Kalau kau baik, berarti aku juga baiklah hahaha. Kau sudah lulus kuliah?” jawab Fahrie diselingi tawa. Fahrie sempat menanyakan perihal Aida kepada seorang teman.

Jadi, meskipun baru dipertemukan, ia bisa memapah pembicaraan ke arah mana saja dengan bekal keterangan yang telah ia himpun. Saat pertemuan dengan Fahrie di usianya yang menginjak dua puluh tiga ini, Aida telah lulus dari dunia perkuliahan dan tak lama menganggur. Ia berkesempatan mengajar di sekolah swasta bernuansa religius. Setiap hari ia bertemu dengan anak-anak yang menggemaskan.

Mereka pun hanyut menikmati tanya jawab yang terlempar kepada satu sama lain. Selayaknya teman sejawat melepas rindu, yang juga mengenang masa lalu. Semua perihal yang telah berlalu terasa lucu untuk diingat, sekalipun menyakitkan di masa itu. Sekelumit canda yang merebak di antara mereka, mengundang tawa terbahak-bahak. Setelah waktu lampau sudah memuaskan, pokok bahasan mulai mengacu pada kenyataan, masa kini.

“Tak terasa ya, kita telah berada di usia sekarang. Aku yakin beberapa teman kita sudah menikah. Lalu, apa kau akan segera menikah dalam waktu dekat?” kata Fahrie diiringi berbagai dugaannya.

“Doakan untuk segera. Sekarang belum ada calonnya hehe. Kau mau mendahuluiku?” balas Aida terkekeh berlanjut mengintimidasi.

“Haha aku pun belum punya pasangan untuk diajak ke sana. Bukannya teman dekatmu seabreg ya, apa tak ada yang memenuhi kriteriamu?” kata Fahrie mengelak yang diteruskan tanya yang menggoda.

Masih terukir jelas dalam kepala Fahrie, bahwasanya Aida merupakan dambaan setiap lelaki di masa sekolah menengah. Tak heran jika beberapa di antaranya pernah mengisi harinya. Hal itu juga berlaku ketika berada di lingkungan tempat tinggalnya. ‘Kembang Desa’ bahkan patut disematkan dalam julukannya. Barang kali ia masih menyandang nama itu hingga saat ini, pikir Fahrie.

“Belum ada yang berani serius. Kau sebagai lelaki bisa santailah, tak dikoyak oleh usia. Kalau wanita sudah masuk usia dua puluh lima dan belum ada calonnya bisa ketar-ketir,” jawab Aida yang mulai memakai sudut pandang gendernya.

“Bukannya takdir itu masing-masing? Jadi, ya kita tak perlu menyesuaikan waktu kita untuk sama dengan waktu mereka,” sahut Fahrie beserta pendapatnya mengemuka.

Perdebatan kecil menyeruap di sela pembicaraan mereka berdua. Mulai dari kehidupan secara garis besar, hingga mengerucut pada perihal waktu yang ideal untuk menikah. Pelanggan di warung elektrik itu silih berganti datang dan pergi, tetapi hanya sedikit memengaruhi keintiman mereka.

Berselang kesempatan, Fahrie mengambil papan kayu pengapit kertas yang tergeletak di meja pesanan. Kertas berisi puluhan nomor pelanggan itu disingkirkan, kemudian Fahrie menggoresnya dengan pulpen di cengkeraman jemarinya. Sembari menerangkan gagasan yang terlintas di pikirannya dengan cakap, sesekali Fahrie meminta Aida untuk menengok ke papan agar keduanya mencapai kesepahaman.

Aida memang sering kali menggunakan papan bor untuk memperjelas penyampaiannya kepada murid kesayangan. Namun, kali ini Aida harus bertukar posisi, ia bukan sebagai guru ketika berada di tengah penjelasan Fahrie.

“Kalau misalnya seperti ini, bagaimana?” tanya Fahrie meminta pendapat.

Senyuman bergurat dari wajah Aida karena tak mampu menahannya. Ia meringis gemas melihat Fahrie yang sok imajinatif mengubah papan kayu seolah menjadi surat perjanjian. Meskipun, dua kali anggukan kepala Aida ialah gestur yang menyiratkan persetujuan di antara mereka.

Sore kala terasa terik, benda-benda bersama bayangannya di sebelah timur tampak kala ditembak sinar surya. Tak terasa obrolan bisa berlangsung selama hitungan jam. Mereka pulang setelah pembicaraan santai cukup untuk mengisi waktu senggang di hari itu. Entah bagaimana pun juga, inti dari percakapan tadi hanyalah gurauan pengusik penat masing-masing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement