Sabtu 02 Mar 2019 06:10 WIB

Selamat Jalan Sayang

Kamu di mana istriku, kata Syaefudin mencari sosok Fatimah, istrinya.

Pasangan suami istri.
Foto: Pixabay
Pasangan suami istri.

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Teguh Firmansyah (Instagram: @teguhthr)

Jarum jam sudah menunjukan pukul 16.00. Seorang pria muda terlihat mondar-mandir di salah satu lorong rumah sakit. Kadang ia duduk lalu berdiri kembali seperti orang kebingungan. Sesekali lelaki itu meremas rambutnya, mencoba berpikir, menatap asa yang sepertinya mulai padam.

Para perawat hilir mudik, mengenakan seragam hijau dan masker yang menutupi sebagian wajah mereka. Ia tak sekalipun menghiraukan sampai seorang perawat menegurnya.  

"Ada yang bisa saya bantu pak," tanyanya dengan ramah. "Tidak apa-apa dik, saya hanya sedang berpikir," jawabnya sambil menoleh jam di salah satu sudut lorong.

Pria itu lalu mengambil telepon genggam dari saku celana sebelah kanannya. Sejumlah nomor dari kontak ponsel ia hubungi satu per satu. Namun ekspresi wajahnya tetap tidak berubah. Merengut, kesal, kecewa bercampur aduk menjadi satu.

Ia pun menuju ruang ICU (Intensive Care Unit) dan bertemu dengan seorang suster. "Berikan saya waktu, akan saya penuhi syaratnya," ucap pria itu mencoba meyakinkan.

Tak lama ia langsung bergegas keluar dari rumah sakit. Lelaki itu mengambil motor tua hasil pembeliannya dengan menyisihkan uang gaji selama setahun. Sisa uang makannya Rp 2 ribu ia berikan untuk tukang parkir.

Langit berwarna kemerahan pertanda senja turun di ufuk barat. Suara azan mengalir merdu menyusup ruang kalbu. Perlahan ia pelankan laju kendaraannya itu, menepi untuk bersimpuh di hadapan Sang Kholik.

"Ya Allah cobaan apalagi yang kau berikan kepada kami," keluhnya di dalam hati. Air mata tak tertahan. Mengalir, membual dari kelopak matanya.  Berharap agar semua ujian ini  dapat selesai.

Dengan langkah gontai, ia keluar dari Masjid. Lelaki itu sempat mengusap air matanya sebelum menaiki motor tuanya kembali. Setelah sekitar satu jam perjalanan ia sampai ke tempat yang dituju, rumah pak lik-nya.

Rumah itu terletak di sudut selatan Jakarta. Tak besar, tetapi tetap terlihat kemegahannya. Dengan gaya minimalis terlihat elegan seperti model-model rumah terbaru saat ini.  

Sebuah mobil SUV hitam terpakir di garasi rumah. Lampu teras dan tamu pun terlihat menyala. Pertanda bahwa adik dari bapaknya tersebut ada di rumah dan belum tidur.

"Assalamualaikum,.... Assalamualaikum," ucap pria itu. "Waalaikumsalam, Ada yang bisa di bantu," sahut seorang wanita bertubuh sintal dari dalam. "Bapaknya ada," tanyanya.

"Bapak sedang istirahat," balas wanita paruh baya tersebut. "Ini penting bisa tolong panggilkan bapak," pinta lelaki itu dengan raut memohon.

Lalu dari dalam rumah terdengar suara seorang pria dengan nada berat. "Siapa mah," tanyanya. "Ini loh pak ada tamu," Imah menjawab. Imah adalah pembantu di rumah tersebut. Ia sudah bekerja sama majikannya sejak tiga tahun lalu.

Lelaki itu keluar dari rumahnya. Hanya mengenakan sarung serta kaus kutang. Sementara tangan kanannya memegang koran yang sepertinya baru saja dibaca.

Kedua pria itu sempat bertatapan sesaat. Rauh wajah sang tuan rumah langsung memerah ketika ternyata tamu itu adalah anak dari kakaknya. "Apa yang kamu lakukan di sini, belumkah cukup puas kau membuat kesulitan???!!!" tanyanya sungut.

"Saya hanya ingin minta tolong pak lik. Saya sedang kesulitan. Saya ingin meminjam uang," kata pria itu memelas.

"Maaf saya tidak ada uang, kalaupun ada saya tidak akan memberikannya kepada kamu!!," balasnya geram.

"Pak lik, selama ini saya tidak pernah meminta, tapi saya mohon kali ini saja, saya benar-benar butuh," lelaki itu kembali memohon.

Wajahnya memelas, air mata kembali keluar dari kedua kelopak matanya. Suara berubah parau terus berharap pertolongan dari pak liknya tersebut.

Namun pak liknya tetap bersikap tak acuh. Tak satu pun ia menanyakan buat apa uang itu akan dipakai. Sambil mengacungkan tangannya ia pun mengusir lelaki itu. "Pergi kau!!!" perintahnya mengusir.

Pria itu mengalah. Ia tak kuasa menahan ocehan dan hinaan dari pak liknya tersebut.  Ia kembali mengengkol sepeda motornya dan meninggalkan rumah itu dengan kecewa. Tak sepeser pun pinjaman yang ia peroleh. Sementara waktu terus berjalan, menggerus asa dari mimpi-mimpinya.

Entah kepada siapa lagi ia harus meminjam uang. Sudah puluhan nomor yang ia hubungi sebelumnya tapi tak ada satu pun yang mau meminjamkan uang dengan beragam alasan. Ada yang mengatakan  tidak punya atau bahkan beralasan lagi banyak keperluan.  

 

Waktu sudah menunjukan pukul 20.00 malam. Satu-satu harapan kini hanya sahabatnya semasa SMA, Amin. Ia pun langsung bergegas ke rumah temannya tersebut. Letaknya lumayan jauh, sekitar 30 kilometer dari rumah pak liknya.

Setelah satu jam perjalanan menembus macetnya jalanan ibu kota ia pun sampai. Rumah itu tak seelegan seperti tempat tinggal pamannya. Berukuran tipe 21 dengan interior dan gaya arsitektur biasa. Tak ada mobil, hanya sepeda motor yang terletak di depan teras rumah.

"Assalamualaikum," ucap pria itu memberi salam.

"Walaikumsalam," seseoarang menjawab dari dalam rumah. Usai bertatap mata sejenak, keduanya tak butuh lama untuk saling mengenal.   

"Eh ternyata sohibku, masuk," kata Amin mempersilakan. Lelaki itu pun masuk lalu duduk dan menarik napas sejenak melepaskan penatnya.

"Bagaimana kabarnya sob," tanya Amin membuka obrolan. "Alhamdulillah, tapi saya sekarang lagi benar-benar butuh bantuan," jawab pria itu tak basa-basi.  

"Ada apa memang," tanya Amin melanjutkan.

"Saya lagi butuh uang sahabat, adakah kau bisa meminjamkanku barang Rp 3 juta saja."

Pria itu kemudian menjelaskan semua permasalahanya yang dihadapinya. Ia pun mengungkapkan sebelumnya ia telah berusaha untuk mencari utangan ke seluruh kenalan. Termasuk kepada keluarganya dan ternyata tidak ada satu pun yang berbelas kasih memberikan uang.  

Mendengar penjelasan tersebut, Amin langsung terenyuh. Sesekali ia menelan ludah menaruh prihatin kepada teman SMA-nya tersebut.

"Baiklah, kawan. Saya akan memberimu pinjaman tapi saya tak bisa semua. Saya sekarang ada uang Rp 1,5 juta di rumah. Ambilah kapan-kapan kau bisa balikan, bagaimana?" tanyanya.    

"Alhamdulillah, Ntah apa yang bisa saya ucapkan. Biar nanti saya akan cari kekurangannya," jawab pria itu dengan suara pelan. Asa pun kembali muncul dalam kelibat-kelibat pikirannya. Secercah sinar yang bisa membawanya keluar dari lorong ujian ini. Sebuah mimpi-mimpi di masa depan.

Amin langsung menuju ke kamar untuk mengambil uang simpanannya di lemari. Uang itu akhirnya ia serahkan kepada sahabatnya. "Tak minum dulu?" tanya temannya kembali.

"Maaf sahabat, terima kasih. Saya benar-benar-sedang buru-buru. Lain kali kita bisa berbicara lebih panjang lebar lagi. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak. Kau benar-benar sahabatku," ujar pria itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement