Kamis 31 Jan 2019 08:46 WIB

Angkringan

Meski lapar, Gardu memberikan sego kucing ke pengamen. Ia memberikan amal terbaiknya

Sego Kucing
Foto:

“Permisi.”

Seorang pengamen berambut dreadlock atau gimbal ala Bob Marley tersenyum memperlihatkan gigi-geliginya yang hitam, dekil berantakan. Aku sangat hafal betul lagu reggae apa yang bakal dinyanyikan karena dia sudah dua kali mengamen di angkringan dalam semalam ini.

Sambil menggeleng pelan, aku berucap, “Libur, Kang?”

Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Aku merasa senang jika ada pengamen yang tidak bersikap egois. Dengan muka memelasnya, dia kembali mencari peruntungan siapa tahu seseorang akan memberinya uang receh. Satu. Dua. Tiga. Empat. Semua pengunjung angkringan sego kucing menolaknya.Tinggal seorang lagi, Pak Gardu yang sedang duduk santai di arah jam dua.

Setelah bernyanyi, pengamen berbadan dekil itu masih terpaku di hadapannya. Pak Gardu menumbuk kedua bola matanya ke bungkusan sego kucing, ada sependar kebimbangan di sana meski akhirnya Pak Gardu memadamkannya. Tidak lama kemudian, pengamen tadi pergi setelah sebelumnya mencium punuk tangan Pak Gardu dan menerima bungkusannya.

Kutatap Pak Gardu dengan heran. Memang dia sangat baik dan bijak, tapi apa sahih jika dia memberikan makan malamnya kepada pengamen, sementara dia sangat menahan lapar?

Rasa penasaran ini menuntutku untuk cepat mengambil keputusan. Kudatangi Pak Gardu.

“Bapak tidak lapar?”

“Ya lapar, Mas.”

“Jika Bapak lapar, mengapa bungkusan tadi diberikan kepada pengamen?”

Pak Gardu mengernyit, dahinya berkerut dan kedua alisnya menukik heran dengan intonasi nada bicaraku. Tidak berselang lama, dia kembali tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Saya hanya ingin mempersembahkan amal terbaik selagi ada kesempatan, Mas.”

“Maksudnya, Pak?”

“Di masa sekarang, banyak orang berlomba-lomba mencitrakan diri dengan amal baik agar dianggap yang terbaik oleh manusia. Padahal, tidak semua amal baik adalah yang terbaik. Kita tidak tahu amal manakah yang memang terbaik di sisi Tuhan, saya hanya berusaha untuk selalu beramal baik.”

Oh Tuhan. Aku termenung.

“Umar bin Khattab masuk surga bukan karena ritual ibadah spektakulernya, tapi karena menyingkirkan duri dari tengah jalan. Kau tahu mengapa, Mas?” Tanya Pak Gardu tanpa menatap ke arahku.

Aku membisu.

“Karena Tuhan tertarik, sehingga Dia mengangkat amal baiknya menjadi yang terbaik.”

Penjelasan itu menelisik ke dalam sanubariku. Cukup lama aku terdiam, tapi jiwaku mengalirkan sebuah anggukan pada ragaku.

“Saya balik ke rumah dulu ya, Mas. Tadi lupa tidak membawa pentungan,” ucap Pak Gardu sambil tangannya mengeratkan ikatan sabuknya, mungkin agar perutnya tak berbunyi.

Kupandangi punggung Pak Gardu sampai detik terakhir sebelum akhirnya tenggelam di balik temaram lampu jalanan. Kini, aku menyisihkan dua bungkus sego kucing, dua sate usus, dua sate telur puyuh dan wedang kopi. Rencananya, semua makanan itu akan kuberikan ketika Pak Gardu kembali ke posko bambunya.

Nahas, hujan mulai menunjukkan tanda kedatangannya. Malahan, semakin lama, jarum langit itu semakin deras menghujam. Para aktivis malam terpaksa bubar lebih dini sebelum bunyi kentungan dua belas kali. Diriku menyangkal, meski hujan makin deras. Tetesan air kian menusuk atap angkringan yang hanya ditutupi dengan kain terpal plastik. Aku pun tak bisa mendengar deru jalanan, petir bersahut-sahutan dengan angin kencang, listrik pedesaan padam seiring dengan matinya cahaya lampu teplok berminyak kelentik.

Aku tergopoh-gopoh membereskan dagangan angkringan agar tidak terguyur hujan hingga akhirnya aku berhasil membawanya sampai di rumah dengan aman meski harus dihujat hujan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement