Senin 21 Jan 2019 10:30 WIB

Saat Hujan Turun

Kita tidak pernah tahu rejeki itu adanya di mana.

Saat Hujan Turun
Foto: Rendra Purnama/Republika
Saat Hujan Turun

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Pelangi Pagi

Ika mengeluh waktu melihat layar ponsel, hampir pukul dua belas. Kesal sudah jelas. Dari pukul sembilan pagi menunggu panggilan untuk diwawancara. Lapar adalah tambahannya. Mengeluh karena terbayang, setelah selesai wawancara tidak bisa membeli apa pun, semangkuk bakso sekalipun. Uangnya tinggal ongkos angkot dan ojek.

Pelamar tinggal dua orang di ruang tunggu. Mungkin Ika giliran dipanggil terakhir. Ah, tapi Ika sudah pasrah. Tanggung bila mengundurkan diri dan pulang. Rasanya tidak akan beda dari hasil lamaran yang kemarin, yang pekan lalu, yang bulan lalu. Perusahaan banyaknya mencari karyawan yang pengalaman atau yang bergelar sarjana. Mau pengalaman bagaimana, Ika baru lima bulan lalu lulus dari SMK?

Sejak lulus Ika rajin memasukkan lamaran ke setiap perusahaan yang mengumumkan mencari karyawan. Beberapa perusahaan memanggilnya, tapi setelah wawancara tidak ada yang memanggilnya lagi. Ada juga satpam yang berbisik waktu melamar ke sebuah pabrik tekstil. Bila ingin diterima sebenarnya gampang, asal ada buat pelicinnya, lima juta saja, katanya.

Ika tersenyum mendengarnya. Satpam itu tidak tahu, bagi Ika untuk ongkos dan fotokopi segala persyaratan saja tidaklah gampang. Lagipula, bila punya uang pun cara seperti itu pasti dilewatinya. Sejak kecil Umi mengajarkan untuk jujur, sabar, dan bekerja keras. Buat apa bekerja dengan jalan tidak jujur?

Lelah dan putus asa tentu saja pernah. Melamar dan wawancara sudah tidak terhitung seringnya. Suatu hari Ika bilang ke Umi: Mi, Ika kan dari kelas satu SD sudah biasa berkeliling perumahan berjualan gorengan. Bila susah mencari pekerjaan, sudah saja Ika berjualan lagi membantu Umi.

Hus, jangan bilang begitu. Jangan putus harapan. Belum rejekinya saja bila masih belum dipanggil, kata Umi. Kamu itu lulus sekolah. Sayang bila tidak merasakan bekerja. Kumpulkan dulu modal. Usaha itu harus punya modal. Bila sudah menyerap ilmu di perusahaan, bila sudah punya bekal, tidak masalah berhenti bekerja dan membuka usaha sendiri.

Ucapan Umi itu yang menjadikan Ika kuat menghadapi kesalnya melamar dan wawancara. Tapi, harus diakui, nasihat Umi tadi sempat kurang mujarab. Ika berpikir untuk pulang saja. Apotek Asri itu perusahaan besar untuk ukuran kota kabupaten, cabangnya ada di tiap kota. Pantas bila pelamar yang datang begitu banyak. Padahal, hanya seorang yang dicari.

Tapi, sebelum pulang, hujan turun lebat. Di langit kilat berkelap-kelip, lalu petir berbunyi. Ika ingat nasihat Umi, harus sabar, jangan putus harapan. Kita tidak pernah tahu rejeki itu adanya di mana. Bila berdagang, Umi selalu menganjurkan untuk berkeliling sampai gang terakhir.

Ika Kartika, kata seorang ibu yang dari tadi memanggil pelamar.

Ika berdiri, lalu masuk ke ruangan wawancara. Ika mengangguk dan tersenyum kepada seorang bapak yang setelah menyuruh duduk malah menatapnya. Ika tentu saja salah tingkah. Dia menunduk. Beberapa lama bapak itu tidak juga bicara. Waktu Ika mengangkat lagi wajahnya, mengangguk dan tersenyum, si bapak membalas senyumnya.

Masih ingat saya? kata bapak itu kemudian. Ika terkejut. Dia mencoba mengingat sambil menatap si bapak. Masih muda usianya, mungkin hanya terpaut tiga-empat tahun dengan Ika. Terlalu muda sebenarnya untuk seorang manajer.

Ingat? katanya lagi. Ika menggeleng sambil tersenyum.

Waktu kecil saya pernah kehujanan di perumahan Ciboled Endah, di bawah pohon kersen. Ingatan Ika melayang ke belasan tahun yang lalu. Hujan lebat seperti tadi. Umi meminta Ika dan Teh Ela berjualan. Hujan Umi, kata Ika waktu itu.

Terpaksa, sayang. Bila tidak keliling, modal kita ada di dagangan.

Ika ingin protes lagi, tapi Teh Ela menuntunnya. Waktu itu Ika melihat Umi menangis meski sudah berusaha menahannya dengan mengusap air matanya yang berjatuhan.

Sementara, Ade dan Emput, adik-adik Ika yang belum sekolah, memandang kedua kakaknya dari pintu. Ika dan Teh Ela berpayung berkeliling perumahan sambil berteriak. Baru dua gang yang terlewati hujan mulai mereda. Tapi, yang membeli gorengan tidak seperti hari-hari biasa. Dagangan masih menumpuk.

Waktu itu Ika sudah kelas satu SD, Teh Ela kelas empat. Setelah Abah meninggal, Umi berjualan gorengan setiap pagi dan sore. Pagi-pagi Umi yang berkeliling. Tapi, sore biasanya Ika dan Teh Ela.

Géhuuu peddaass... bala-bala... kupat... lapis..., kata Ika. Gehuuu peddaass... bala-bala... kupat... lapis..., kata Téh Ela.

Gang kesepuluh sudah terlewat, tapi yang membeli hanya seorang dua orang. Di belokan ke gang kesebelas, mereka berhenti. Bukan, bukan karena ada pembeli. Tapi, melihat seorang anak lelaki, kira-kira seumur Teh Ela, menggigil kedinginan di bawah pohon kersen. Entah siapa, Ika dan Teh Ela tidak mengenalnya.

Teh, mengapa anak itu? kata Ika. Sepertinya kedinginan. Lapar mungkin ya.

Mungkin juga, kata Teh Ela sambil menghampiri anak yang berjongkok menggigil itu. Mau ke mana, Teh? Kita pulang saja.

Tapi Teh Ela tidak menghiraukan. Mengapa berteduh di sini? kata Teh Ela. Rumahnya jauh?

Jauh. Malu ikut berteduh di rumah orang, kata anak lelaki itu sambil tersenyum malu. Teh Ela memasukkan gehu, bala-bala, dan kupat ke dalam pelastik. Ini makan, biar tidak menggigil, kata Teh Ela memberikan plastik. Tidak punya uang.

Tidak apa, ini mah ngasih. Anak lelaki itu menerima plastik sambil menunduk. Terima kasih, katanya pelan.

Gang keduabelas hampir terlewati, tapi yang membeli tidak juga bertambah. Teh, kita pulang saja. Jualan waktu hujan ternyata tidak laku, kata Ika.

Hus, kita tidak pernah tahu rejeki itu adanya di mana. Tanggung hanya satu gang lagi. Ika tersenyum. Pikirnya, Teh Ela sudah seperti Umi. Harus sabar, jujur, dan jangan putus harapan. Begitu biasanya Umi menasihati. Padahal, Umi sendiri bila bersedih, ya menangis seperti tadi.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement