Sabtu 16 Feb 2019 10:42 WIB

Piring Cuil

Hati lebih getas dari piring. Jika piring cuil bisa dibeli, hati cuil selamanya luka.

Piring Cuil
Foto: Rendra Purnama/ Republika
Piring Cuil

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Khoimatun Nikmah

“Hati itu lebih getas daripada piring ini, Mila. Kalau piring cuil bisa beli lagi, tapi hati cuil tidak bisa dilas. Selamanya luka.”

Pagi tadi, kamu menyisakan setengah sandwich. Kamu hanya menggigit dua kali. Padahal, setangkup roti tawar isi selai kacang itu sudah kubakar sesuai seleramu, sedikit gosong. Seolah kurang suka, kamu perlu mendorongnya dengan seteguk jus jeruk. Sebelum gigitan kedua terkunyah sempurna, kamu berdiri terburu-buru meninggalkan meja makan.

Potongan sandwich teronggok diam. Kamu mengatakan bakal lembur di kantor. Kubalas dengan senyuman. Andai kamu sempat meneliti, kamu akan menemukan keganjilan pada senyumku. Sumbang dan ganjil. Jujur, pagi tadi aku tak ikhlas melepasmu pergi. Ada pojok hati yang terus memberontak.

Setelah deru mobilmu tak lagi terdengar, rumah semakin sepi yang mengebiri. Detak jam mempermainkan kegalauan. Perasaan aneh mulai menjangkiti. 

Apa aku sudah bukan lagi istri yang berbakti hingga boleh kamu abaikan begitu saja? Aku menangis.

Dadaku sesak. Aku tak tahu mengapa kamu berubah sedemikian cepat. Sedang menunggumu menjelaskan alasan perubahan itu semustahil menunggu Jakarta bebas macet.

Belakangan, kamu pulang terlambat dengan alasan klise; lembur dan macet. Makanan di piring tak kamu habiskan dengan dalih makan di kantor, ditraktir teman, ada syukuran, dan seterusnya. Katamu istri semakin seksi bukan saat memakai setelan kerja rok mini, melainkan saat dibungkus celemek dapur belepot bumbu dan terasi. Apa itu sekadar rayuan sebelum mencumbu?

Saat buku nikah kita miliki, aku melepas semua pekerjaan dan 100 persen menjadi istrimu. Tetapi sekarang? Semua terasa salah. 

Di saat kosong seperti ini, kadang muncul hasrat kembali menjadi wanita karier dengan segudang aktivitas. Aku merasa seperti disekap di kamar sedang kamu membuang kuncinya entah kemana.

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku duduk mengelap peluh. Kukirim pesan singkat mengingatkanmu agar tidak terlambat makan. Kutekan ‘send’ sambil mengelap kuncup air mata yang berbunga lebat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement