Rabu 13 Feb 2019 16:50 WIB

Rindu Menjelang Senja

Kerinduan membumbung tinggi melahirkan air di pelupuk mata yang keriput.

Rindu Menjelang Senja
Foto: Daan Yahya, Republika
Rindu Menjelang Senja

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Raidah Athirah

Rumah berhalaman luas di Jalan Kondratowicza demi kian asing terlihat. Dedaunan kering tersapu angin ber gulung di tanah, diselimuti butiran putih menghadirkan sunyi setelah gerimis kehidupan menerpa di perjalanan.

Inilah saat mengingat suamiku, Sebastian. Ia telah kembali ke sisi Tuhan pada Desember sepuluh tahun lalu. Putra semata wayangku tinggal bersama keluarganya di Berlin. Aku sudah tak ingat kapan ia ber sama istri cantiknya yang berambut pirang itu datang menjengukku.

Seorang anak perempuan yang kukandung selama sembilan bulan pun sudah meninggalkanku. Riani, putri pertamaku, sudah menikah dengan seorang warga Amerika yang cinta kepadanya.

Cinta sudah terlihat kala lelaki itu meminang Riani saat Sebastian masih hidup. Peter, nama menantuku itu memboyong putriku ke Afrika, tempat ia ditugaskan sebagai duta besar.

Negeri mutiara hitam begitu jauh hingga rasanya mustahil dapat kujangkau di usia senja ini. Entah bagaimana rupa cucu keduaku, aku sama sekali tidak tahu.

Riani dan suaminya datang mengunjungiku di Warsawa saat putra pertama mereka, Adam, berumur dua tahun. Ia hanya menelepon mengabarkan kelahiran anak keduanya. Seorang bayi perempuan montok berambut kecokelatan.

Suasana riuh di rumah sudah tak kurasa sejak aku harus tinggal di rumah tua karena tak mampu mengurus diriku sendiri akibat operasi tulang lutut 20 tahun lalu. Aku mengenang keputusanku memilih melepas paspor hijau dan mengikat utuh hidupku sebagai seorang warga negara Polandia. Entah mengapa jiwaku terasa diterpa rindu yang tak bisa dikata.

Sebastian sempat menyayangkan keputusan yang kuambil, meskipun demikian ia menghormati apa pun yang kupilih. Percakapan kami di sebuah restoran kota tua kembali muncul mengempas memori.

Saat itu, dedaunan telah jatuh memeluk merahnya senja, ia menatapku dengan mata penuh kasih. Mungkin saja ia merasa masanya akan tiba. Mendengar kata-katanya yang lembut hampir-hampir berbisik, aku mulai memahaminya di masa ini.

"Kau yakin dengan keputusanmu ini Sri?" tanyanya lagi seperti ingin aku menimbang hal ini masak-masak.

"Aku sudah 40 tahun hidup di rantau. 30 tahun bersamamu. 10 tahun aku habiskan di ibu kota tanah airku. Tidak ada yang menanyakan kabarku sebagai keluarga kecuali mereka hendak meminta uang. Warisan orang tuaku sudah kadung jadi sengketa. Aku bahagia di sini. Aku menerima hidup ini sejak awal kau menikahiku."

"Kochana (tersayang/panggilan kasih seorang laki kepada perempuan yang di cinta)..., aku takut kau merasakan kerinduan bila aku sudah tak ada di sisi."

"Tidak! Kau terlalu perasa Sebastian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hidup di mana saja pasti ada tantangan, ya kan?"

"Dorbze (baiklah atau well dalam bahasa Inggris) kochana," katanya sambil memegang erat tanganku di merah saga menutupi hawa dingin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement