Selasa 12 Feb 2019 17:01 WIB

Ujian di Pengujung Tahun

Bencana dan kematian bisa menimpa siapa saja, tak pandang bulu.

Ujian di Pengujung Tahun
Foto:

Tetangga dan para warga membantu prosesi pemakaman keluargaku. Hari itu ada beberapa jenazah yang dimakamkan di permakaman umum daerah kami. Dengan berat hati aku menyaksikan kedua orang yang kucintai dimasukkan ke liang lahat.

Setelah dikumandangkan azan, makam pun ditimbun tanah basah. Kesedihan ini sama saat pascakelulusanku dari akademik keperawatan, saat ayah meninggal karena serangan jantung. Sejak saat itulah, kami hidup bertiga. Namun kini, tinggallah aku sendiri.

"Sabar ya, Mba Ana. Ikhlaskan kepergian Ibu dan Ahmad. Mereka telah berkumpul di sana," hibur Ratri. Tetangga kampung, yang juga kehilangan salah satu anggota keluarganya.

Sebenarnya aku tidak sendiri, banyak orang lain yang juga harus tegar karena ditinggal orang-orang yang disayangi. Bahkan vokalis grup band Ifan Seventeen harus kehilangan istrinya yang belum lama ia nikahi, sekaligus tiga rekan grup yang menggawangi, serta ada beberapa artis lainnya.

Bencana dan kematian bisa menimpa siapa saja, tak pandang bulu. Tak ada yang bisa menghalangi jika kuasa-Nya telah berkehendak.

Tidak bisa dimungkiri, kesendirian ini benar-benar membuat aku terpuruk. Bagaimana masa depanku kelak? Tinggal di mana, bersama siapa?

Semua pertanyaan menjadi momok ketakutan yang kian meracuni pikiran. Karena hari ini, aku resmi menyandang status yatim piatu dan tak memiliki apa-apa. Sebatang kara.

Aku selalu menyibukkan diri di dapur pengungsian. Menyiapkan masakan, menata, dan membagikannya dengan pengungsi yang lain. Ini merupakan cara ampuh mengobati kesedihan. Sama-sama bangkit dan saling berbagi membuatku merasakan jika hidupku masih berguna bagi orang lain.

Baca Juga: Senja Bersama Lana

Jika pekerjaan dapur usai, aku ikut bersama relawan lain memberikan terapi healing kepada adik-adik yang mengalami trauma akibat tsunami tersebut, juga belajar dan bernyanyi bersama dengan anak-anak. Menghibur mereka. Kenyataan perih ini, tidak akan kutambahi dengan berlarut-larut dalam kesedihan karena kehidupan harus tetap berjalan.

Hari demi hari bantuan terus berdatangan, baik dari pemerintah maupun elemen masyarakat. Kesibukan para relawan kian meningkat. Dapur umum bekerja selama 24 jam dengan shift bergantian.

Aku menikmati semua rutinitas itu sebagai pelipur lara meskipun di setiap malam rasa sedih itu datang menyerang. Menghujani ulu hati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement