Jumat 18 Jan 2019 05:11 WIB

Rindu di Tangkai Senja

Bertahun-tahun aku mencari istri dan anakku, tapi mereka seperti hilang ditelan bumi

Rindu di Tangkai Senja
Foto:

Perjalanan Jeddah-Cengkareng yang hanya delapan jam terasa begitu lama. Ditambah transit tiga jam, kemudian terbang Cengkareng-Lombok selama dua jam. Sepanjang perjalanan dari Jeddah sampai Lombok, aku sama sekali tak bisa memicingkan mataku. Bayangan buruk berkali-kali menghantuiku.

Begitu mendarat di Bandara Internasional Lombok (BIL), Praya, aku dan Adly langsung ke rumah sakit. Istriku masih koma. Adly langsung memeluk mamanya dengan penuh kasih sayang seraya melantunkan berbagai macam doa.

Sejenak aku terpaku. Namun, segera aku cium tangan istriku. Wanita mulia yang telah kutinggalkan begitu saja hanya karena dorongan nafsu. Maafkan aku, Sayyidah, bisikku di telinganya. Namun, ia sama sekali tidak merespons.

Selama lima hari, istriku koma. Dokter melakukan berbagai upaya untuk mengobatinya. Namun hasilnya nihil.

Hari keenam, tiba-tiba tangannya bergerak. Segera kugenggam tangannya. Sayyidah, maafkan aku, sayang. Ia menjawab dengan isyarat. Tangannya menggenggam jariku. Cepat sembuh ya sayang. Aku ingin kembali hidup bersamamu dan anak kita. Namun, tiba-tiba air matanya meleleh dari matanya. Dan pegangan tangannya kembali melemah.

Ia kembali koma. Dan dua hari kemudian meninggal dunia, tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun kepadaku maupun Adly.

Senja makin tenggelam dalam muram. Mentari kembali ke balik malam. Angin seakan berhenti berdesau. Memagut hatiku yang kian galau. "Ayah, mari kita pulang. Sebentar lagi gelap," Adly menyentuh bahuku. Untuk kesekian kali aku memeluknya.

Air mataku berderai. "Maafkan aku, Nak. Ayah sangat berdosa kepadamu dan mamamu."

"Adly sudah memaafkan Ayah. Dan mama pun, Adly yakin sudah memaafkan Ayah. Kita hidup menjalani takdir yang sudah Allah gariskan. Tugas kita berikhtiar. Dan Ayah sudah berikhtiar maksimal untuk menemukan mama dan Adly dan merajut kembali bangunan keluarga kita yang sempat rapuh. Tapi manusia berencana, Tuhan pun punya rencana. Dan rencana Tuhan selalu yang terbaik." Adly mencium tanganku.

"Adly selalu bangga dengan Ayah. Dulu, sekarang dan selamanya. Itu yang selalu mama ajarkan kepada Adly."

"Mama selalu bilang, Ayah adalah cinta pertamanya. Ayah adalah satu-satunya laki-laki yang beliau kenal dalam hidupnya. Ayah melamar mama, saat mama nyantri di Pondok Pesantren Gontor. Kata mama, Ayah tidak mau menunggu sampai mama lulus dari pesantren karena takut mama disunting anak Pak Kiai. Ketika akhirnya Ayah berpaling kepada wanita lain, mama tetap membanggakan cinta Ayah dan menyimpan nama Ayah di lubuk hatinya yang paling dalam."

Mendengar ucapannya, aku kembali tersedu. Kembali kupeluk anakku, sambil memandang makam yang masih merah itu.

"Istriku, terbuat dari apakah hatimu? Bahkan intan permata pun tidaklah semulia itu. Seandainya saja Allah izinkan aku sehari saja menemanimu, ingin kucium kakimu dan kulayani engkau sepanjang waktu."

"Ayah, Adly yakin mama tersenyum di alam kuburnya. Ia ingin Ayah bahagia. Dan ia menunggu Ayah di pintu surga."

Adly meraih tanganku. "Sekarang saatnya kita pulang. Besok Adly antar Ayah ziarah ke makam mama. Kita berdoa bersama-sama untuk mama. Semoga Allah bahagiakan dan muliakan mama di alam barzakh."

Aku melangkah perlahan. Sekali lagi kutengok makam istriku. "Selamat jalan, cahaya mataku. Aku akan selalu merindukanmu dalam sunyiku dan doa-doaku."

TENTANG PENULIS:

IRWAN KELANA adalah cerpenis, novelis, dan wartawan Harian Republika. Ia telah menerbitkan sekitar 20 judul buku, baik novel, kumpulan cerpen, biografi maupun buku-buku Islam. Lebih dari 10 kali memenangkan lomba menulis novel, cerpen, karya tulis, dan artikel tingkat nasional. Ia juga aktif memberikan pelatihan jurnalistik dan sastra di dalam maupun luar negeri.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement