“Ibu, ada kepala orang,” ujar si anak seraya menatap kemelun asap yang keluar dari lubang tatakan belakang tungku. Ibunya menoleh.
“Mana?”
“Itu,” si anak menunjuk apa yang ditatapnya.
“Tidak ada apa-apa. Cuma kemelun asap. Kau masih demam ya?”
Si anak bergidik. Keringat dingin mengalir dari keningnya.
***
“Kau akan dibakar di neraka jahanam kalau tidak mau mengaji,” kata bapaknya dulu, puluhan tahun yang telah lampau sewaktu memergokinya membolos mengaji dan malah pergi ke kampung sebelah untuk menonton ludruk.
“Ludruk kan mulainya malam. Kalau kau mau nonton, kau bisa mengaji dulu,” tambah bapaknya, masih dengan mata merah. Ia sudah empat kali menerima bogem mentah bapaknya.
“Aku takut tidak kebagian tempat di depan,” katanya terisak.
“Lagi pula kau masih kecil. Kau tidak seharusnya nonton ludruk dan pulang dini hari!”
“Tapi…” sebuah pukulan mendarat tepat di bibirnya, membuat kalimatnya kembali tenggelam ke dalam tenggorokan.
***
Perempuan itu meraih ponsel butut yang tergeletak di meja makan. Tak ada kabar dari suaminya. Ia memencet nomer ponsel suaminya. Tak diangkat. Mungkin masih di jalan, pikirnya. Ia mengambil bubur untuk menyuapi anaknya.
“Tadi benar-benar ada kepala Bu,” ujar si anak di sela-sela mengunyah buburnya.
“Sudah, kau makan saja biar cepat sembuh. Setelah ini minum obat,” jawabnya. Setiap kali sakit, anaknya memang rewel. Andai suaminya ada di rumah, keadaannya akan lebih mudah. Setidaknya, suaminya bisa membantunya merawat anak itu.
Namun, keadaan memang sedang tidak begitu baik. Kelompok ludruk yang diikuti suaminya vakum selama bulan puasa. Itu hal yang wajar. Tidak ada orang yang menikahkan atau menyunatkan anaknya pada bulan puasa.
Jadi, tidak ada permintaan terop untuk kelompok ludruknya. Suaminya berkata bahwa tabungan mereka tidak akan mencukupi untuk keperluan Lebaran tahun ini.
“Beberapa bulan terakhir ini kan kau tahu sendiri, tanggapan ludruk nerop sedikit. Tidak seperti tahun-tahun lalu.”
Tentu saja ia tahu. Ia tahu keberadaan orkes dangdut koplo benar-benar menghancurkan bisnis ludruk. Itulah sebabnya, pada bulan puasa kali ini, suaminya pamit untuk ngamen ludruk garingan, keliling ke mana-mana. Bermain sendirian. Semacam monolog. Persis seperti yang bertahun-tahun sebelumnya dikerjakan oleh seorang legenda ludruk bernama Cak Markeso di Surabaya.
“Aku akan pulang pada malam takbiran. Selambat-lambatnya, pagi-pagi pada hari Lebaran, tepat sebelum shalat id,” pamit suaminya sebulan yang lalu.
***
“Inikah api neraka jahanam itu?” pikirnya. Sesuatu berwarna hitam itu telah sempurna memeluk tubuhnya. Tubuhnya terasa panas. Sangat panas. Ia mendengar orang-orang yang marah masih berteriak-teriak.
“Mampus kau! Mampus!”
Kemelun asap bergulung-gulung ke langit tinggi. Terus ke atas. Terus.
***
“Kau mau kemana? Buburmu belum habis,” perempuan itu meneriaki anaknya yang lari ke dapur. Ia menyusul si anak. Anaknya berdiri kaku di depan tungku. “Ayo makan du…” ia gagal meneruskan kalimatnya.
Lidahnya terasa kelu begitu mendapati bagaimana dari kemelun asap yang keluar dari lubang tatakan belakang tungku, kepala suaminya muncul. Tersenyum manis. Perempuan itu mengucek-ngucek mata.
“Ibu, Ibu, itu bapak Bu,” anaknya menarik-narik ujung dasternya.
TENTANG PENULIS: Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016) dan Samaran (novel, 2018). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.