“Ibu masak apa?” bocah laki-laki berusia lima tahun itu bertanya. Ia masih mengucek-ngucek matanya. Rambutnya acak-acakan.
“Ketupat, Nak. Besok Lebaran. Nanti malam bapakmu pulang.”
Bocah itu mendekat, lantas mendusel ke pangkuannya. “Kau masih lemas?”
Bocah itu menggeleng pelan.
***
Bulu matanya lengket oleh campuran antara bensin dan darah. Ada semacam tirai yang menghalangi pandangannya. Namun, pandangannya hanya kabur, bukan buta sepenuhnya. Di balik tirai itu, melayang-layang di angkasa, tampak sesuatu yang berkilau.
Bukan kilauan yang dekat dengan warna putih, melainkan hitam. Bagaimana bisa warna hitam yang sepekat itu berkilau? Lagi pula, itu kilauan yang sungguh menyilaukan. Hampir sama mengilaukannya dengan matahari pagi. Bukan kilauan biasa.
Sesuatu itu kian mendekat ke arahnya. Ia berupaya berteriak meminta tolong. Namun, suaranya sudah habis. Yang meluncur dari tenggorokannya hanya desisan pendek. Sesuatu itu kian mendekat. Semakin dekat.
Langit belum sepenuhnya gelap. Dan sesuatu yang kegelapannya melebihi kekelaman malam yang paling kelam itu, sesuatu yang kekelamannya menyilaukan itu, tampak semakin jelas lagi; merentangkan sepasang sayap yang terlihat kokoh dan perkasa.
“Ia akan menolongku dari kesalahpahaman ini,” yakinnya.
Ia mengira sesuatu itu akan mengusir orang-orang marah tersebut. Semakin dekat sesuatu itu, semakin jelaslah bahwa sesuatu itu memiliki ukuran yang luar biasa besar. Sebegitu besar hingga rasa-rasanya ia sanggup menutupi seantero bumi dengan bentangan sayapnya.
“Tolong aku,” ia kembali mendesis.
“Bakar! Bakar!” ia mendengar teriakan.
“Nyalakan! Nyalakan!”
***
“Bapak sudah tidak jadi banci, kan Bu?” bocah kecil itu mengangkat kepalanya.
Ibunya tersenyum kecil. “Bapakmu tidak pernah menjadi banci.”
“Tapi orang-orang bilang…”
“Sudah berkali-kali Ibu bilang, bapakmu bukan banci. Bapakmu wedhokan, ia sekadar memerankan tokoh perempuan dalam ludruk.”
“Tapi, kata orang-orang, bapak sekarang tidak main ludruk. Bapak jadi banci di Surabaya.”
“Tidak, Nak. Bapakmu ngamen ludruk di kota. Dia main ludruk garingan. Sendirian. Dan, dia paling ahli jadi Simboknya Sarip Tambak Oso.”
“Bapak banci, ya?”
“Bukan, Nak. Nanti kau akan mengerti. Sudah, kau makan dulu ya… biar tipesnya tidak kambuh. Besok kan Lebaran. Ayo, Ibu juga mau buka puasa. Sudah Maghrib.”
***
Ia tidak mengerti kenapa kerumunan orang yang marah itu seperti tidak terusik dengan kehadiran sesuatu yang begitu besar dan berwarna hitam kelam dan menyilaukan tersebut. Mereka terus menghajarnya, melempari tubuhnya dengan batu dan potongan paving. Menendang dan memukul. Menjambak dan meludahi. Sementara seseorang, samar-samar, ia lihat menyalakan korek gas.
Ia juga tak tahu apa yang salah. Terminal ramai seperti biasanya pada musim mudik seperti sekarang. Ia menunggu bis yang masih menyisakan tempat duduk yang akan membawanya menemui istri dan anak semata wayangnya. Dan tiba-tiba, dengan cepat, ia telah berada dalam situasi ini.
“Sudah tiba waktunya,” ia mendengar suara. Bukan teriakan. Bukan dengan nada kemarahan. Suara itu lembut dan lebih seperti bisikan. Berat dan dalam. Dan bergema begitu saja di liang kupingnya.
“Apa maksudnya?” ia berdesis.
Sesuatu berwarna hitam pekat dan berkilau di depannya telah begitu dekat, menembus kerumunan orang-orang, lantas merangkulnya, melingkupkan sepasang sayap berukuran kolosal itu ke tubuhnya. Ia merasakan tubuhnya yang telah hancur kian lemah. Semakin payah.
***