Selasa 09 Jul 2019 16:07 WIB

Tindak Tegas Perdagangan Perempuan

Perdagangan orang merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir.

Seorang korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengintip keluardari dalam bis sesaat setelah tiba di terminal 1 C bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (16/8).
Foto: Antara/Lucky R.
Seorang korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengintip keluardari dalam bis sesaat setelah tiba di terminal 1 C bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (16/8).

Kasus perdagangan perempuan di Indonesia diperkirakan sangat tinggi, ibarat fenomena gunung es yang hanya terdeteksi sedikit  di permukaan saja. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut sebanyak 29 WNI menjadi korban pengantin pesanan di China. Data tersebut diperoleh berdasarkan pengaduan korban sepanjang tahun 2016 hingga 2019. 

Sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 orang perempuan asal Jawa Barat. Sekjen SBMI, Bobi Anwar Maarif menduga pengantin pesanan merupakan modus dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hal itu karena ada proses yang mengarah kepada perdagangan yang terencana. Korban dijanjikan akan menikah dengan orang kaya asal China dan iming-iming dijamin seluruh kebutuhan hidup korban dan keluarganya. Namun, sesampainya di China, korban dipekerjakan dengan durasi waktu yang lama, dikutip dari theworldnews.net, Ahad (23/6). 

Baca Juga

Hal yang sama sebelumnya juga pernah terjadi di Sumatera Utara. Sindikat internasional perdagangan manusia menjadikan Kabupaten Asahan, Sumatera Utara sebagai pusat perdagangan wanita ke Malaysia pada pertengahan 2017. 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Syafruddin Kalo, SH, di Medan, mengatakan wanita yang menjadi korban perdagangan itu, sebelumnya diiming-imingi dan dijanjikan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Namun , kenyataannya wanita muda itu, justru dijadikan sebagai penghibur kaum lelaki di sejumlah hotel dan tempat-tempat yang lainnya di luar negeri.

TPPO Ancaman Bersama 

Sejak era orde baru hingga saat ini kasus tersebut masih menjadi persoalan yang seolah tanpa penyelesaian. Tiap tahunnya perdagangan manusia pun melibatkan hubungan antar negara. Parahnya lagi, Indonesia dimasukkan ke dalam urutan kedua dalam laporan perdagangan orang yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri Amerika. 

Perdagangan orang merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir. Kemunculannya telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Karena terlanggarnya hak-hak asasi manusia, antara lain: hak kebebasan pribadi, hak untuk tidak disiksa , hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dengan kedudukan yang sama di hadapan hukum, dan lain sebagainya. Otomatis pelanggaran seperti ini, akan berdampak  pada terjadinya kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi maupun budaya. 

Kebijakan dalam negeri dan luar negeri terutama pada negara-negara yang masuk dalam permasalahan perdagangan manusia, tidak mampu menyelesaikan permasalan ini dengan tuntas sampai ke akarnya. Ditambah lagi alasan ekonomi yang menjadi alasan utama, hal itu lahir dari pemahaman kapitalisme yang menjadikan manusia mendewakan materi dan kesenangan hidup di dunia.

Sistem kapitalisme mencabut aspek kemanusiaan, mencari keuntungan di tengah bencana. Bahaya akan terus mengancam remaja putri bila kapitalisme masih menjadi pijakan dalam menentukan kebijakan dan aturan. 

Jika saat ini, jawaban untuk menghapus TPPO dengan mewujudkan kesetaraan gender justru tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Kesetaraan gender dan kebebasan perempuan , pada dasarnya adalah ide yang cacat dan irasional. Bagaimana tidak, perempuan didorong untuk melepaskan diri dari keluarga/rumah tangga yang dikesankan seolah belenggu yang membuatnya menjadi manusia nomor dua di bawah laki-laki. 

Berbagai tempat penitipan anak pun disediakan agar perempuan dapat bebas dan optimal berkiprah di luar rumah. Ini dianggap dapat menjadikan perempuan bahagia dan meraih kehidupan yang jauh lebih baik. Dan masyarakat yang setara gender dianggap sebagai masyarakat ideal, yang terbaik bagi kehidupan manusia. Tapi apa yang terjadi selanjutnya? 

Justru perempuan mandiri dan bebas yang menjadi standar keberhasilan ide kesetaraan gender adalah kegagalan melawan kodrat penciptaan. Selanjutnya adalah kehancuran keluarga, kehancuran generasi dan kehancuran masyarakat. Bukan menjadi jawaban atas persoalan perdagangan perempuan, malah menambah persoalan bagi perempuan. 

Indonesia masih saja berkiblat pada Barat dan bertahkim pada ide kesetaraan gender untuk menyelesaikan tumpukan persoalan yang dihadapi oleh jutaan perempuan di negeri ini. Padahal kesetaraan gender bukan sebuah nilai yang universal dan sering digunakan untuk mengkriminalisasi Syariah Islam terkait perempuan. 

Di dalam Islam, negara bertanggung jawab atas kebutuhan ekonomi rakyatnya ketika wali dari perempuan sudah tidak ada atau ketika suatu keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, negara menjadi pejaga akidah dan keimanan rakyatnya dimana hal tersebut termaktub dalam aturan negara. 

Sehingga tidak akan ada rakyat yang mau dijual ataupun melakukan paraktek penjualan manusia karena hal itu jelas bertentangan dengan hukum Islam. Seperti hadist Rasulullah Saw: “dan seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad) 

Selama sistem ini masih diterapkan dalam aturan kehidupan dan menjadi pandangan hidup, dan kesetaraan gender terwujud, pada faktanya tidak akan dapat memberikan dampak positif apapun pada persoalan perempuan selain hanya akan menjadi objek dan komoditas  semata. 

Saat era keemasan Islam di Nusantara, nyaris tidak pernah terdengar praktek eksploitasi dan perbudakan perempuan, kecuali saat kolonialisme Barat mulai merasuki negeri ini hingga hari ini. Peradaban Islam tidak pernah mengalami sejarah penindasan perempuan seperti di Barat karena Islam memandang perempuan memiliki status, intelektualitas, dan sifat manusia yang sama dengan laki-laki.

Pengirim: Rindyanti Septiana S.Hi, Pegiat Literasi Islam dan Jurnalis Muslimah Medan

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement