Selasa 09 Jul 2019 00:16 WIB

KPAI: Jangan Sampai Pendidikan Agama Dihapuskan dari Sekolah

Pemerintahan Indonesia memang tak pernah merencanakan penghapusan pelajaran agama

Rep: Mabruroh/ Red: Andi Nur Aminah
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti sedang memberikan keterangan pers seusai melakukan audiensi dengan Kapolres Depok, Kombes Pol Didik Sugiarto terkait pengawasan dan pendampingan siswa  korban guru cabul di Mapolres Depok, Senin (11/6).
Foto: Republika/Rusdy Nurdiansyah
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti sedang memberikan keterangan pers seusai melakukan audiensi dengan Kapolres Depok, Kombes Pol Didik Sugiarto terkait pengawasan dan pendampingan siswa korban guru cabul di Mapolres Depok, Senin (11/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Perlidungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menentang keras usulan Darmono perihal wacana penghapusan materi pendidikan agama di sekolah. Retno berharap, pemerintah khususnya Menteri Pendidikan agar tidak perlu menanggapi wacana tersebut. 

“Sebenarnya, polemik tersebut muncul hanya dari usulan seorang WNI bernama Darmono, hanya usulan, bahkan sebenarnya usulan tersebut dapat diabaikan pemerintah, karena pemerintahan Indonesia memang tidak pernah merencanakan penghapusan pelajaran agama di sekolah,” kata Retno dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id Senin (8/7).

Baca Juga

Retno berujar, apabila menghapus pelajaran agama artinya bukan saja pendidikan agama Islam namun juga ada pendidikan agama Hindu, agama Budha, agama Konghucu, Kristen dan Katolik. Padahal Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara sambung Retno, menyatakan bahwa lingkungan sekolah memang bukan satu-satunya tempat anak-anak belajar, termasuk perlunya belajar pendidikan agama.  Karena masih ada pendidikan di lingkungan keluarga yang pertama dan utama menenamkan karakter anak, dan juga pendidikan di lingkungan masyarakat.

“Ki Hajar menyebutnya dengan istilah ‘Tri Pusat Pendidikan’ artinya, pendidikan agama sejatinya memang diajarkan di semua ranah, yaitu di keluarga, di sekolah dan di masyarakat,” tutur Retno.

Karenanya, KPAI mendukung agar pendidikan agama tetap diberikan di sekolah. Namun substansi materi yang diajarkan maupun metode pembelajarannya memang masih memerlukan masukan banyak pihak, agar menjadi tepat dan bermakna.

Karena dalam sudut pandangnya, selama ini pendekatan pembelajaran yang mayoritas digunakan guru masih konvensional alias kurang membuka ruang dialog. Sehingga kurang membangun daya kritis peserta didik.

Padahal, ketika budaya literasi terjadi di sekolah, maka ruang dialog dan kemampuan berpikir kritis akan terbangun dengan sendirinya, sehingga sekolah dapat dengan mudah menangkal paham radikal dan fanatisme sempit lainnya. “Menyoroti kegiatan pendidikan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu yang selama ini berlangsung di sekolah, memang lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis,” terangnya

Meskipun dalam Kurikulum 2013, guru dituntut melakukan proses pembelajaran dengan prinsip 5M atau mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis dan mencipta. Namun pada implementasinya mayoritas guru berbagai mata pelajaran, termasuk guru agama lebih mengedepankan mengingat.

“Dalam proses pembelajaran, peserta didik kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir, proses pembelajaran di kelas lebih diarahkan kepada menghafal informasi,” ujarnya.

Dalam kurikulum 2013, masih menurut Retno, Pendidikan Agama di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah digabung dengan pendidikan budi pekerti. Penggabungan inilah yang dulu banyak dikritik beberapa pihak karena Pendidikan Agama berlandaskan kitab suci masing-masing agama. Sedangkan budi pekerti berlandaskan norma-norma dan budaya yang berlaku di suatu tempat, namun kedua hal tersebut diajarkan oleh orang yang sama. “Padahal, menurut kitab suci dengan menurut norma dan budaya terkadang bisa berbeda,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Retno menegaskan bahwa pelajaran agama masih sangat dibutuhkan di sekolah. Hanya saja, perlu dibenahi adalah metode pembelajaran dan materinya. Misalnya penting memberikan materi bahwa setiap agama mengajarkan kerukunan, saling menghormati, saling menghargai, dan saling menyayangi, bukan menyebar kebencian baik kepada umat agama yang sama maupun umat agama yang berbeda.

“Jadi penting pelajaran agama juga memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan memperkokoh persatuan bangsa,” tegasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement