Selasa 09 Jul 2019 06:43 WIB

Pamitan pada Masjid 99 Kubah (Cerita Pendek)

Silaturahim Lebaran menjadi curahan kenangan yang menjadi penyedap suasana

Pamitan paa Masjid 99 Kubah
Foto: Rendra Purnama/Republika
Pamitan paa Masjid 99 Kubah

Kebutuhan hidup pernah memaksaku beralih menempuh tol langit dengan pesawat. Harus on time sebagai orang sibuk. Hingga pesawat terus melangit mengurusi nasibnya sendiri yang tersisih dari persaingan pasar akibat uluran tangan manja para penumpang. Terpaksa, banderol tarif harus berani dijebol dari pelanggan yang selama ini bergerombol. Belum siap diimbangi, pelanggan pun bubar mencari jalur yang bersahabat.

Kini, kapal laut menjadi pilihan satu-satunya. Walau, di pelosok Ramadhan seperti ini kenangan traumatis pernah melelehkan bola mata ketika melewati jalur laut. Pasalnya, kendaraan ini paling bebas mempermainkan waktu sampai Ramadhan berpesta perpisahan disambut takbiran. Tetapi, tak ada kata menyerah demi mudik Lebaran.

Memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga kecil kami. Mudik Lebaran menjadi momen andalan mencurahkan segala rasa, cerita bahkan karsa menuju harapan. Di sinilah impian keluarga kecil paling berkesan karena jatuh bangun perantauan dirasa kan bersama sejak kecil. Selalu saja ada cerita seru ketika berkumpul seperti ini.

Aku merasa menjadi bagian penting karena tak satu pun dari keluarga kecil ini yang tak bisa berbagi cerita. Jadi, silaturahim Lebaran menjadi curahan kenangan yang menjadi penyedap suasana. Bahkan, tidak jarang ada sisi lain dari pengalaman tanah seberang yang unik, lucu, dan kocak.

Hanya di masa Lebaranlah waktu leluasa untuk menyegarkan segala kenangan manis itu. Makanya, pesan nestapa ibu bila ada pertanda terlambat mudik, ibu tak butuh oleh-oleh, yang penting kamu bisa pulang berkumpul dengan keluarga.

Ibu dan ayah memang tak pernah kehabisan bahan cerita Lebaran karena sejak usia belasan tahun telah merantau. Luar biasa karena keluarga turut diboyong ke mana- mana. Bahkan, aku dan saudara yang lain, Dewi dan Arlan dilahirkan di tanah seberang.

Seorang dosen bahasa ketika aku kuliah di kampus ungu Umar Bakri menggeleng kepala mengetahui riwayatku. Bukan karena heran, Justru dia menganggap itu suatu kerugian karena kehilangan bahasa ibu dan bahasa rantau sekaligus. Buktinya, hanya cerita tanah seberang yang tersisa.

Demikian halnya, tanah seberang yang dimaksud, pemukiman transmigran. Jadi, wajarlah pergaulan pada wajah perantau juga yang terjadi. Hanya catatan pergulatan para pendatang menyerap saripati tanah seberang. Aku mencurigai rindu mudik ini asalnya dari sana. Ketika cerita tentangnya disematkan pada kumpul bersama mengawali pagi dengan sarapan. Karena itu, sarapan lebih seru walau aroma Lebaran telah surut.

Terkadang Dewi, adikku melirik tetangga dengan maksud membandingkan dengan keluarga kecil ini. Tampaknya hanya kita yang paling riuh membongkar keheningan pagi.

Mereka orang-orang kompleks perumahan tak banyak cerita langsung menggeber mobilnya menembus suasana Lebaran. Sedangkan, kita ke sana kemari masih meributkan kendaraan Lebaran. "Pinjamlah, sewalah, pokoknya yang penting silaturahim, inilah susahnya kalau tak punya mobil," keluh ayah sambil merenungi masa-masa pensiun.

Musim Lebaran seperti ini mesti punya mobil sebab menyambut mudik hingga silturahim Lebaran akan kerepotan. Tidak mudah menjemput si anak rantau ke bandara atau pelabuhan kalau tak menggunakan kendaraan memadai sebab oleh-olehnya sejibun bagai hasil kebun. Ditambah jarak menuju rumah menembus dua batas kota kecil yang dipenuhi kendaraan padat merayap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement