Ahad 30 Jun 2019 05:03 WIB

Haji Manap (Cerita Pendek)

Siapa yang menciptakan angin? Allah, jawab bapak. Makanya kita harus bersyukur.

Haji Manap
Foto: Rendra Purnama/Republika
Haji Manap

Langit merah. Bulan merah. Segalanya tampak merah di matanya. Angin malam juga beraroma darah. Pada sebuah ladang garam, ia terkapar. Sekujur tubuhnya penuh luka. Tulang-tulangnya remuk. Ia mengerang kesakitan. Darah kental mengucur dari kepala, merembes ke wajahnya. Potongan kayu, batu, dan benda tajam berserakan di sekelilingnya. Izrail pun seperti mengintip di balik pohon siwalan, menunggu giliran.

***

 

Matahari terik. Dul Karim berjalan dengan kaki telanjang. Keringatnya lengket di kaus oblong yang warnanya sudah tidak jelas. Caping cokelat menutupi kepalanya dari bara terik.

Tubuh Dul Karim berotot. Kulitnya hitam kusam karena sengatan matahari. Urat di lengannya tampak menjalar bagai akar pohon, yang semakin jelas saat sekop di tangannya berayun dan menancap gundukan garam. Ia memasukkan garam itu pada sebuah karung sampai terisi penuh.

Dul Karim jongkok. Tangannya mencekik kuat kepala dan kaki karung. Sekuat tenaga ia angkat karung itu ke udara sambil menahan napas, dengan bahu siap memanggul. Berat garam mencipta jejak kaki sepanjang pematang, menuju gubuk yang berdiri di antara hamparan ladang garam. Kakinya awas menjaga keseimbangan.

Gubuk Dul Karim berjarak sekitar 300 meter dari ladang. Dibangun di luas tanah 5 x 6 meter. Dindingnya terbuat dari gedek sehingga angin gampang masuk lewat lubang-lubang kecilnya, menyambangi penghuni gubuk. Semua tiang penyangganya dari bambu. Atapnya dari genteng. Lantai plesternya sudah mengelupas.

Di gubuk itu Dul Karim hidup berdua dengan ibunya. Usianya belum genap tujuh belas tahun. Setelah lulus dari MTs (madrasah tsanawiyah), ia sengaja tidak melanjutkan sekolah. Ia menggantikan ibunya bertani garam sebagai satu-satunya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bapaknya, Haji Manap, seorang petani garam yang meninggal dengan perut robek, ususnya memburai dan darahnya berhamburan di ladang garam, lima tahun silam.

Terik benar-benar membakar tubuh Dul Karim. Keringatnya mengucur deras. Berkali-kali ia mengelapnya dengan ujung kaus. Sudah 10 karung garam ia panggul sendiri.

Rasa payah mulai hinggap di bahu dan pinggulnya. Langkahnya mulai terasa berat. Ia duduk di pematang. Memandang hamparan ladang garam. Tiba-tiba dadanya terasa perih bagai cacar air di kakinya saat menginjak butiran garam. Ia teringat bapaknya. Semenjak bapaknya meninggal, segalanya terasa lebih sulit. Apalagi, ibunya menjadi sakit-sakitan.

Samar-samar Dul Karim masih bisa mengingat kata-kata bapaknya dulu. Kini, ia baru bisa mencerna kata-kata itu, “Bertani garam harus berani pedih, Nak. Bila hujan turun kau bisa hancur, belum lagi permainan para pengepul. Kita tak boleh menyerah, terus berusaha. Satu-satunya kekuatan yang harus kita miliki sebagai orang miskin adalah keyakinan. Ingat, menjadi orang baik sebuah pilihan. Bila kita mati itu takdir.”

Kedua mata Dul Karim terasa panas. Dadanya semakin bergolak. Ia ingin bapaknya hidup lebih lama sehingga ia bisa belajar banyak hal. Dulu, selepas pulang sekolah ia sering diajak bapaknya ke ladang untuk memperbaiki tanggul: mengambil lumpur di ladang berair untuk menambal tanggul sampai tebal dan lebih tinggi agar tak mudah jebol.

Segala yang pernah terekam matanya kini melintas di kepalanya. Ia teringat saat baaknya mengajari cara bertani garam dan membuat kincir angin. Bapaknya sangat telaten. Ia melihat bagaimana bapaknya membuat kincir angin dari rangkaian pipa peralon, papan kayu, besi, laker, dan ban bekas.

“Dulu kakekmu yang mengajari bapak membuat kincir angin seperti ini,” kenang Dul Karim pada bapaknya, “Begitu juga cara bertani garam.”

“Memangnya benda ini untuk apa, Pak?” tanya Dul Karim polos. Waktu itu ia baru masuk sekolah dasar.

“Dengan kincir angin ini kita bisa menghemat tenaga, anginlah yang bekerja,” ujar bapaknya, “Benda ini bisa memompa air baku yang mengalir langsung dari laut lewat kanal kecil ke ladang garam kita. Setelah air di ladang sudah cukup, kita ikat kincir angin ini dengan tali, supaya berhenti memompa air.”

“Lalu, siapa yang menciptakan angin, Pak?”

“Allah yang menciptakannya, makanya kita tak boleh lupa bersyukur.”

Kemudian Dul Karim memejamkan mata dan mengangkat kedua tangan mungilnya di dada, persis menirukan bapaknya saat berdoa sehabis shalat. “Terima kasih ya Allah, Engkau telah meringankan pekerjaan bapakku.”

Bapaknya tersenyum bangga. Lelaki berkumis tebal itu langsung memeluk dan mencium kepala anaknya. Bila langit sedang baik, hujan tak turun sampai berhari-hari dan sinar matahari akan membuat air laut di ladang itu menguap dan meninggalkan kristal-kristal garam dan para petani garam akan mengambilnya untuk dijual. Namun, bila tidak beruntung, air laut yang sudah tua dan mulai mengkristal menjadi butiran garam kembali mencair terkena air hujan.

Terik matahari kian terasa menyengat di kulitnya. Dul karim tersadar dari lamunannya. Ia bangkit dan kembali mewadahi tumpukan garam itu, lalu memanggulnya ke gubuk.

***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement