Sabtu 29 Jun 2019 06:29 WIB

Banjir yang Dikirim ke Campoan

Mengapa banjir terjadi, mungkin karena makin sedikit resapan air.

Banjir yang Dikirim ke CampoanBanjir yang Dikirim ke Campoan
Foto:

Kepala desa Campoan itu sedang mengobrol di ruang sebelah, agak dekat dengan tempat Sapraji menunggunya, hanya terpisah oleh sekat kaca ruangan. Sapraji meneguk kopinya. Ia mulai bosan menunggu. Terdengar tawa terbahak-bahak dari ruangan sebelah. Keras sekali tawa kepala desa itu didengar oleh Sapraji.

Dengan langkah yang gemetar, Sapraji bangkit dari duduknya. Melalui celah lubang kunci, Sapraji melihat ke dalam ruangan itu. Ia melihat kepala desa itu sedang berbincang-bincang dengan beraneka ragam binatang. Dalam penglihatan Sapraji, ada seekor tikus besar, buaya, kadal dan ular duduk di kursi bersama kepala desa.

Dikuceknya mata Sapraji, khawatir yang dilihatnya hanyalah ilusi. Tapi tetap saja yang dilihatnya adalah binatang-binatang menyeramkan yang ikut tertawa bersama kepala desa. Degup jantung Sapraji seperti hendak lepas dari tangkainya. Ia bertanya-tanya ke dalam dirinya, apakah kepala desa itu bersekutu dengan iblis?

Sapraji kembali ke tempat duduknya. Kepala desa itu datang menemuinya. Sapraji berusaha tersenyum dengan debar-debar tak kuran dalam dadanya. Kepala desa Campoan itu menanyakan maksud dan tujuan Sapraji. Kepala desa itu mengatakan tidak punya banyak waktu, sebab tamu-tamunya yang berada di ruang sebelah itu belum pulang.

“Saya datang meminta pertanggung jawaban.” Tanpa basa-basi Sapraji mengutarakan maksudnya.

“Pertanggung jawaban apa?”

“Anda harus bisa mengatasi banjir ini.”

“Saya bukan Tuhan.” Kepala desa itu menjawabnya dengan nada ketus.

“Bandara dan gedung-gedung itu penyebabnya. Dan itu semua ulah anda.”

“Ngawur! Itu program pemerintah. Saya hanya menjalankan.”

Sapraji diam. Ia melihat ekspresi wajah kepala desa yang mulai mengeluarkan api. Sapraji agak sedikit takut. Ia cemas jika kepala desa menyuruh para binatang yang ada di kamar sebelah menyerang dirinya. Tidak akan selamat ia dari serangan binatang-binatang buas itu. Tubuh Sapraji mulai bergidik mendengar suara-suara binatang di kamar itu yang seakan siap menghabisinya.

“Banjir itu karena ada hujan. Dan hujan itu datang dari langit. Siapa yang menurunkan hujan?” Kepala desa bertanya kepada Sapraji dengan suara ditekan.

“Tuhan.” Jawab Sapraji singkat.

“Kamu menolak banjir, sama artinya protes pada Tuhan.”

“Banjir datang bukan tanpa sebab. Tuhan berbuat bukan tanpa sebab. Kita sendiri yang membuat banjir itu. Dan itu ulah anda. Anda yang sangat bernafsu menghabisi sawah-sawah petani menjadi gedung menjulang. Inilah akibatnya. Apakah desa kita pernah banjir sebelum pembangunan itu berdiri?” Kepala desa itu tak memiliki jawaban.

Tanpa perlu menunggu jawaban dari mulut kepala desa itu. Sapraji pamit. Tergesa-gesa ia meninggalkan rumah kepala desa. Ia merasa jiwanya terancam sebab telinga Sapraji mendengar desis ular, auman macan, suara buaya dan kadal yang seperti akan membunuhnya. Berada di depan pintu pagar kepala desa itu, Sapraji sempat menghentikan langkahnya saat melihat dua mobil mewah masuk ke halaman rumah kepala desa.

Secara spontan mulut Sapraji mengucap istighfar seraya memegang degup jantung di dadanya setelah melihat penumpang di dalam mobil itu adalah segerombolan binatang buas. Matanya sempat melihat seekor tikus besar, buaya, kadal, kalajengking dan berbagai binatang lainnya yang sangat mengerikan.

-- Pulau Garam, Maret 2019

TENTANG PENULIS: Zainul Muttaqin Lahir di Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Meraih Juara II Lomba Cerpen Se-Nusantara (Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Kabupaten Sumenep, Desember 2017).  Buku kumpulan cerpen perdananya; Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2019). Tinggal di Sumenep Madura. Email; [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement