Jumat 28 Jun 2019 09:39 WIB

Ombudsman Sebut Carut-Marut PPDB karena Sosialisasi

Seharusnya, enam bulan dapat digunakan untuk persiapan dan sosialisasi PPDB

Rep: bowo pribadi/febryan/Rizky Suryarandika/Arie Lukihardianti/ Red: Joko Sadewo
Zonasi PPDB
Foto: republika
Zonasi PPDB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ombudsman RI menilai, pangkal persoalan dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2019 berbasis zonasi berada di tahap sosialisasi. Carut-marut yang hari ini terjadi di berbagai daerah lantaran informasi tentang aturan detail dalam PPDB tidak tersampaikan ke masyarakat.

Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tak memaksimalkan periode sosialisasi PPDB. Padahal, kata dia, Permendikbud 51/2018 terbit enam bulan sebelum pelaksanaan. Sehingga, asumsinya pemerintah daerah (pemda) punya waktu beradaptasi atas aturan itu.

“Seharusnya, enam bulan dapat digunakan untuk persiapan dan sosialisasi pada masyarakat soal pelaksanaan PPDB. Jadi, tidak timbulkan keributan dadakan,” kata dia di Jakarta, Kamis (27/6).

Salah satu masalah yang muncul ialah antrean orang tua siswa di sekolah sejak pagi buta. Padahal, pendaftaran sekolah harusnya secara daring sesuai zonasinya. “Antrean panjang karena masyarakat nggak tahu harusnya datang ke sekolah saat verifikasi saja, bukan untuk dulu-duluan daftar,” ujar dia.

Masalah berikutnya, menurut Ninik, terjadi karena minimnya koordinasi antara Kemendikbud dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Lemahnya koordinasi antarlembaga ini dinilai menjadi celah bagi orang tua siswa untuk mencurangi sistem zonasi. Salah satunya, ‘mengakali’ domisili demi masuk zonasi sekolah tertentu.

“Antisipasi dengan Kemendagri penting karena mulai banyak mengelabuhi aturan hukum. Misal, pindah KK (kartu keluarga), padahal ditelusuri dia tidak tinggal di situ. Kalau koordinasi ke Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) maka bisa diantisipasi dari awal,” kata dia.

Kendati demikian, Ombudsman menilai, sistem PPDB berbasis zonasi memiliki konsep yang cukup ideal. Sistem itu mampu menghapus stigma sekolah favorit dan nonfavorit. Dengan begitu, pemerataan kualitas pendidikan bakal terealisasi. “Namun, pemerintah perlu segera merealisasikan pemerataan fasilitas dan mutu pendidikannya,” ujar dia.

Persoalan ‘mengakali’ domisili ini terindikasi di Bandung, Jawa barat (Jabar). Tim investigasi domisili PPDB 2019 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar menemukan 10 KK di Kota Bandung yang diduga disalahgunakan. KK bermasalah itu digunakan untuk  mendaftarkan calon siswa ke sekolah favorit yang berada di zonasinya.

Sementara, DPRD Provinsi Jabar menerima 36 pengaduan terkait persoalan pada PPDB 2019. Menurut Sekretaris Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya, dari laporan tersebut paling banyak menyangkut zonasi karena adanya dugaan pemalsuan surat keterangan domisili calon siswa.

“Kami sudah memiliki bukti-bukti dugaan pelanggaran tersebut, seperti surat keterangan domisili pendaftar. Kami ada bukti copy-annya,” ujar Abdul Hadi. Laporan dugaan pelanggaran itu harus segera diselidiki oleh Pemprov Jabar dalam hal ini Dinas Pendidikan Jabar. “Silakan diolah eksekutif karena dewan tak punya kewenangan menyelidiki,” kata dia.

Hadi menilai, Dinas Pendidikan tidak mampu memverifikasi keabsahan alamat yang diajukan pendaftar. Oleh karena itu, dewan mendesak Disdukcapil serta Satuan Polisi Pamong Praja untuk menelusuri dugaan pemalsuan alamat ini. “Sekarang, katanya sedang direkap,” ujar dia.

Hasil rekapan ini, kata dia, akan diserahkan ke pihak sekolah untuk menentukan diterima atau tidaknya pendaftar tersebut. Karena, yang membuat diterimanya siswa di sekolah adalah kepala sekolah.

Persoalan PPDB ini terjadi, menurut Hadi, karena kurang maksimalnya sosialisasi yang dilakukan. Kelemahan tersebut terbukti dari masih banyaknya orang tua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah favorit meski di luar zonasi. “Artinya, sosialisasinya belum efektif,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement