Ahad 23 Jun 2019 09:53 WIB

SMP Pinggiran di Tulungagung tak Kebagian Murid Baru

Setidaknya ada belasan SMP negeri pinggiran yang kekurangan calon peserta didik baru.

Sejumlah siswa dan orang tua murid antre untuk mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMP.
Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Sejumlah siswa dan orang tua murid antre untuk mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMP.

REPUBLIKA.CO.ID, TULUNGAGUNG -- Sejumlah sekolah pinggiran tingkat SMP di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, gagal memenuhi pagu karena kurang diminati calon peserta didik yang memilih sekolah unggulan atau swasta. SMP-SMP tersebut tidak kebagian murid baru untuk tahun ajaran 2019/2020.

Pantauan di laman ppdb.tulungagung.net, Sabtu (22/6), setidaknya ada belasan SMP negeri pinggiran yang kekurangan calon peserta didik baru meski jadwal PPDB daring secara resmi telah berakhir pada Jumat (21/6). Tiga sekolah yang paling parah dalam hal penjaringan peserta didik baru terpantau di SMPN 2 Kalidawir, SMPN 2 Karangrejo dan SMPN 2 Rejotangan.

Baca Juga

Di SMPN 2 Kalidawir sempat nihil pendaftar, tetapi kemudian mendapat limpahan belasan pendaftar dari SMPN 1 Kalidawir yang tidak lolos zonasi. Demikian juga dengan di SMPN 6 Karangrejo.

Namun, kondisi paling parah saat ini dialami SMPN 2 Rejotangan karena hingga berita ini ditulis baru menerima lima calon peserta didik baru yang mendaftar. "Kami sudah koordinasikan dan mendapat kelonggaran dari Dinas (Pendidikan) untuk memperpanjang masa pendaftaran sampai penutupan jadwal pengisian dapodik (data pokok pendidikan), September mendatang," kata Kepala SMPN 2 Rejotangan Sri Wahyuni.

Sri Wahyuni yang akrab dipanggil Bu Corrie ini mengaku pesimistis perpanjangan masa pendaftaran berdampak positif terhadap penambahan calon peserta didik baru. Sebab, Corrie dan sejumlah guru sekolah setempat sebelumnya telah "gerilya" ke SD-SD dan MI demi mendapat minat calon peserta didik baru sebelum lulusan.

Namun, segala upaya itu tak banyak membuahkan hasil. Apalagi setelah sistem zonasi diberlakukan.

Buktinya, tutur Corrie, selama dua tahun terakhir jumlah peserta didik di sekolahnya terus menurun. Tahun lalu, jumlah peserta didik di SMPN 2 Rejotangan ada 39 siswa yang digabung dalam satu rombongan belajar (rombel).

Tahun ini, kondisinya lebih parah karena hanya lima calon siswa yang mendaftar. "Mau bagaimana lagi, berapapun jumlah siswa yang kami terima tetap akan kami ajar. Sudah menjadi komitmen seluruh guru di sini, bahkan jika nanti murid yang mendaftar atau tersisa hanya satu anak," ujarnya.

Menurut Corrie maupun guru SMPN 2 Rejotangan yang lain, ada beberapa faktor yang menyebabkan sekolah mereka sulit mendapat murid baru. Pertama faktor sosiologi. Menurut penjelasan Corrie, Lingkungan di Kecamatan Rejotangan didominasi oleh masyarakat agamis sehingga pilihan sekolah untuk anak mayoritas diorientasikan ke sekolah Islam, baik di MTS negeri maupun swasta.

Kedua, adalah dampak kebijakan sistem zonasi. "Dulu siswa dari keluarga yang agamis cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah Islam (MTS), sedangkan yang pintar dan mampu ke sekolah unggulan. Sisanya yang dari keluarga tidak terlalu agamis dan juga tidak pintar melimpahnya ke sekolah kami (SMPN 2 Rejotangan). Namun sekarang dengan sistem zonasi hal itu tidak berlaku lagi karena anak yang tidak pintar pun banyak yang ditampung di sekolah unggulan karena masuk range zonasinya," tutur Corrie.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement