Kamis 20 Jun 2019 18:39 WIB

Tak Bisa Melarang Rokok Setengah Hati

Pemerintah masih setengah hati membatasi peredaran rokok karena belum ada solusinya

Pelajar SMPN 104 Jakarta menurunkan iklan rokok di warung-warung di dekat sekolah, Jakarta Selatan. (ilustrasi)
Foto: Republika/Yasin Habibi
Pelajar SMPN 104 Jakarta menurunkan iklan rokok di warung-warung di dekat sekolah, Jakarta Selatan. (ilustrasi)

Beberapa hari lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menanggapi surat dari Kementerian Kesehatan RI terkait permintaan pemblokiran iklan rokok di internet. Menurut Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan 2018 lalu, terjadi peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10 tahun hingga 18 tahun dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Maka ditemui sebanyak 114 kanal dari Facebook, Instagram, dan Youtube yang melanggar Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada Pasal 46 ayat (3) butir c dibahas mengenai promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.

Baca Juga

Setiap menit, hampir 11 juta batang rokok diisap di dunia dan 10 orang meninggal karenanya. Di Indonesia, 76 persen pria dewasa merokok. Indonesia menempati prosentase penduduk sebagai perokok terbesar di dunia: 76 persen pria berusia di atas 15 tahun tercatat sebagai perokok.

Pemblokiran iklan rokok tidak akan menghasilkan output yang signifikan, jika tidak dibarengi dengan langkah nyata di lapangan. Jika rokok masih beredar bebas dan mudah didapat, maka siapapun tetap akan menggunakannya. 

Bahkan ternyata telah ada larangan menjual rokok kepada anak di bawah 18 tahun. Diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau. Tapi tetap saja penjual dan pembeli tidak merasa melanggar aturan. Apalagi tidak jelas sanksinya.

Perusahaan rokokpun telah menyertakan gambar seram berbagai penyakit yang ditimbulkan akibat rokok. Tapi tetap saja gambar tersebut tidak membuat penikmat rokok berhenti dan menghindari rokok. Oleh sebab itu perlu aksi nyata dari penguasa untuk menyelesaikan masalah rokok ini.

Rokok dibenci dan disayang. Masih dengan solusi setengah hati. Setuju bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Tapi pemerintah belum berani menutup produksinya. Sebab akan banyak pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut. Dan hal itu belum disiapkan langkah antisipasinya.

Lihat bagaimana dahulu penguasa dengan tegas melarang beredarnya rokok. Tembakau masuk dari Barat ke wilayah kekuasaan Islam pada abad 16. Di awal dianggap sebagai obat. Akan tetapi kemudian banyak penyakit yang muncul akibat rokok. Maka demi menjaga kesehatan warganya, Sultan Murad IV melarang merokok di Turki pada tahun 1633, dan pelanggarnyapun dihukum mati.

Pengirim: Lulu Nugroho, Muslimah Penulis dari Cirebon

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement