Jumat 21 Jun 2019 05:41 WIB

Bukan Kami (Kisah Partai Merah)

Mendukung partai merah berarti menentang keyakinan kami sebagai orang Islam.

Bukan Kami
Foto:

Pagi itu dukuh kami gempar. Kentongan dipukul tanda ada yang meninggal. Semua warga dukuh sudah berkumpul di rumah yang sangat kami kenal, rumah Uwak Haji. Soleh menarik tanganku untuk mengikutinya. Hatiku bertanya-tanya siapakah yang meninggal. Banyak orang bergegas menuju ke rumah Uwak.

Kerumunan orang sudah mulai bertambah banyak. Para pemuda Ansor berjaga-jaga di sekitar rumah kiai. Di antara pemuda Ansor ada kawanku, Miftah, kawan saat kami ngaji bersama Uwak Haji saat kami kecil.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku pada Miftah.

“Uwak…. Beliau ditemukan sudah meninggal di penggilingan padi. Aku yakin ini adalah perbuatan mereka,” jawab Miftah dengan berkaca-kaca.

Aku tak kuasa menahan tangisku. Uwak adalah guru kami. Uwak sudah banyak menolong keluarga kami. Rumah yang kami tempati pun sebenarnya adalah milik Uwak. Kami boleh menempatinya tanpa membayar sedikit pun.

Ingin rasanya menjerit keras, namun aku tahan dan untuk terakhir kalinya aku ingin melihat jenazah Uwak. Aku dan Soleh berusaha masuk rumah, tapi kami ditahan oleh para pemuda Ansor.

Nyai, istri uwak mendekati kami. Aku langsung mencium tangan Nyai yang saat itu terlihat sangat sedih. Aku memapah Nyai sampai teras rumah karena Nyai berjalan begitu lunglai. Dari dalam rumah, dua orang wanita seumuranku mendekati kami dan mengganti papahanku dengan tangan mereka. Hanya tiga langkah berselang lalu Nyai jatuh pingsan.

Beruntung tubuh Nyai sudah di pegang erat. Air mataku mengalir deras melihat keadaan Nyai. Di ruangan tengah tubuh Nyai di baringkan sambil kakinya dipijat-pijat. Aku kaget saat tanganku di tarik seseorang. Ternyata Soleh yang menarikku.

Kami masuk ke ruangan di mana uwak dulu mengajari kami membaca Alquran. Ada sepuluh pemuda Ansor yang membaca ayat suci Alquran dan di situlah jenazah Uwak terbaring di atas tandu Jenazah. Aku dan Soleh sudah tidak bisa lagi melihat wajah Uwak karena sudah ditutup kain penutup jenazah bertuliskan huruf-huruf Arab.

***

Sepekan telah berlalu. Masa berkabung masih menyelimuti dukuh ini. Dari siaran radio tetangga dikabarkan bahwa baru saja terjadi huru-hara di Ibu Kota. Tujuh Jendral TNI diculik dan dibunuh. Keadaan makin mencekam. Partai merah ini mulai menjadi-jadi. Aku sangat takut dengan apa yang akan terjadi berikutnya.

Aku khawatir pada ayahku dan keluargaku. Kemarin aku mendengar bahwa kelompok yang menamakan dirinya pemuda rakyat telah menganiaya seorang Ketua pemuda Ansor di kampung sebelah hingga tewas. Kontan saja hal ini makin membuat keadaan semakin menakutkan. Saat malam tiba semuanya mematikan lampu dan warga tidak berani keluar.

Mereka mengunci rumah rapat-rapat dan tidak mau menerima tamu malam-malam. Mereka takut pintu rumah digedor oleh pemuda rakyat. Penculikan dan penganiayaan yang berakhir kematian atau hilang tanpa kabar telah membuat siapa pun takut.

Kami tidak tahu harus bagaimana dan kepada siapa kami meminta perlindungan. Mendukung "Partai Merah" berarti menentang keyakinan kami sebagai orang Islam. Menentang mereka alamat kami akan diteror habis-habisan.

Aparat tidak bisa menjangkau dukuh kami yang jauh dari pusat kota markas mereka. Yang berkuasa di dukuh pedalaman seperti dukuh kami adalah pemuda rakyat. Harapan terakhir kami adalah pemuda Ansor yang jelas menentang "Partai Merah". Di manakah kalian wahai pemuda Ansor?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement