Jumat 21 Jun 2019 05:41 WIB

Bukan Kami (Kisah Partai Merah)

Mendukung partai merah berarti menentang keyakinan kami sebagai orang Islam.

Bukan Kami
Foto: Rendra Purnama/Republika
Bukan Kami

Adikku sudah tertidur lelap beralaskan tikar pandan di atas dipan. Dengkurannya menandakan bahwa dia sudah sangat lelah setelah seharian mencari rumput untuk ternak Pak Haji Bukhari tetangga sebelah yang dikenal sangat baik hati.

Ada empat ekor sapi dan enam ekor kambing yang setiap hari harus diberi makan. Dua minggu ke depan jumlah sapi akan bertambah karena sang betina sedang mengandung dan lima hari lagi kambing pun akan bertambah.

Rumput di tepi sungai di selatan dukuh kami adalah rumput yang baik untuk semua ternak. Buktinya ternak pak Haji Bukhari gemuk gemuk meskipun pemiliknya berperawakan tidak gemuk. Selepas membawa dua karung penuh rumput, biasanya uwak Haji, begitu kami memanggilnya, langsung memberi upah pada adikku. Senyum merekah ketika Uwak Haji memberi upah yang lebih dari biasanya tadi pagi.

“Terima kasih Uwak…..aku bisa beli beras buat emak,” kata adikku.

“Jangan lupa Shalat Dhuha ya, Soleh,” balas Uwak haji.

Kupandangi lima liter beras yang tadi pagi Soleh bawa untuk kami. Kami tidak akan memakannya dalam wujud nasi disebabkan pasti cepat habis. Kami biasanya membuat bubur sehingga cukup untuk banyak mulut di keluarga kami.

Air bubur terlihat sangat nikmat ketika kami makan. Makan nasi dengan lauk seperti keluarga Pak Ginu yang menjadi kepala seksi partai berwarna merah adalah angan-angan yang indah untuk keluarga ini. Ingin rasanya merasakan apa yang dirasakan oleh keluarga Ginu.

Mereka makan enak, uang banyak. Dua pekan sekali rumah Pak Ginu selalu didatangi banyak orang. Pernah aku mencuri dengar kira-kira apa yang mereka bicarakan karena rasa ingin tahuku begitu besar. Banyak kata yang aku tidak paham, seperti “manifesto”, “revolusioner”, dan “kamerad”.

Rapat demi rapat mereka lakukan dan jumlah mereka makin hari makin banyak. Tidak hanya laki-laki yang datang, tetapi wanita wanita pun banyak yang hadir. Sepulang dari rapat, mereka membawa bingkisan yang aku tidak tahu apa isinya.

Selesai membuat bubur nasi, aku menjerang air agar kami sekeluarga bisa membuat teh. Teh pahit tentunya. Harga gula sangatlah mahal. Ayahku yang bekerja sebagai buruh tani tak akan sanggup membeli.

Bagi kami sekeluarga, teh pahit terasa sangat nikmat, apalagi jika ayah, ibu, adikku meminumnya bersama sama. Hasil kebun berupa singkong dan pisang adalah rezeki dari Allah pada hamba-Nya yang sangat terhimpit oleh keadaan ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini.

Uang hasil bayaran ayah terasa tak ada gunanya saat harga-harga membubung tinggi. Singkong yang kami makan tidak pernah digoreng, tapi direbus. Selain mahal, minyak goreng pun susah dicari.

***

“Kiai benar-benar menentang kami sebagai gerakan rakyat?” teriak seorang pemuda.

“Apa yang kalian maksud gerakan rakyat? Demi Allah aku dan kiai lain tidak akan mengubah pendirian. Kalian tidak mengakui Allah….kalian berada di jalan yang salah….” Jawab Kiai Tangannya yang terikat ke kursi disundut rokok oleh pemuda tersebut. Sang alim menahan sakit dengan terus menyebut. “Allah…..Allah….Allah.”

Siksaan demi siksaan diterima olehnya dengan sabar. Hingga suatu ketika semuanya terasa gelap. Semua rasa sakit itu hilang dan tidak ada lagi rasa sakit.

***

Kami terkejut malam itu. Ayah membawa banyak makanan dan minyak goreng. Tanpa banyak kata, ayah memberikannya ke ibu dan langsung keluar rumah. Ayah menghilang di kegelapan malam bersama orang-orang Pak Ginu.

Teriakan-teriakan pekik itu sangat aku kenal. Teriakan-teriakan itu persis yang di teriakkan di rapat-rapat di rumah Pak Ginu. Aku sangat khawatir pada ayah. Ibu pun demikian. Tapi, memang kami akui bahwa kami pun membutuhkan bahan-bahan pokok yang dibawa ayah. Serasa hujan sehari memupus kemarau sepanjang tahun.

Kami bahkan pernah tidak makan berhari-hari. Terakhir kali kami makan daging adalah saat Idul Adha. Orang-orang masjid yang memberikannya atas perintah Uwak Kiai. Idul Adha adalah hari di mana kami bisa makan daging setahun sekali. Kerat demi kerat daging kami kunyah pelan-pelan sambil menikmatinya dengan perlahan. Kami melakukannya karena sadar hanya hari itulah kami bisa makan daging kambing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement