Rabu 12 Jun 2019 05:33 WIB

Lebaran di Perantauan (Cerita Pendek)

Merayakan Lebaran di negeri orang, bahagia, rindu, sedih campur jadi satu

Lebaran di Perantauan (Ilustrasi cerpen)
Foto:

Mengingat masa lalu, sama halnya mengaduk bendungan air mata. Akhirnya jebol, meluap dan membanjiri pipi. Apalagi, saat mengenang kepergian bapak untuk selama-lamanya. Bapak meninggal saat hendak dirujuk ke rumah sakit di kabupaten.

Penyakit Tubercolosis (TBC) dan komplikasi bapak yang sudah akut, membuat Puskesmas di desa kami tidak sanggup menangani. Karena tidak memiliki dana untuk menyewa mobil ambulans, kami pun terpaksa mencari mobil tetangga yang sudi mengantar kami ke Kabupaten. Terlalu lama menunggu, nyawa bapak pun tak dapat diselamatkan. Bapak mengembuskan napas terakhirnya di pangkuanku.

“Maafkan Nana, Pak. Nana belum sempat membahagiakan bapak. Tapi, Nana berjanji, akan merawat dan menjaga emak dan adik-adik dengan baik. Menyekolahkan mereka, seperti yang bapak harapkan.”

Telaga ini akhirnya basah, bersama senja dan birunya langit Formosa. Jelaga kehidupan perlahan sirna, saat seseorang sanggup memerangi dengan usaha dan iringan doa.

***

“Ana… Ana…!”

Gaung stereo suara nyonya membuyarkan lamunanku. Dengan tergopoh-gopoh kuambil langkah seribu untuk menemuinya di ruang kerjanya, di lantai dua. Aku dan nenek tinggal di lantai tiga, nyonya dan keluarganya di lantai empat, lantai lima digunakan untuk pertemuan keluarga besar dan cucu-cucu nenek di hari libur.

“Iya, Nyonya. Saya datang.”

“Nana, tadi agensimu ada telepon saya, empat bulan lagi kan kontrakmu habis, apakah kamu berniat meneruskan kontrak di sini, atau pulang seterusnya ke Indonesia,” tanya nyonya, seraya membenarkan letak kacama tanya yang melorot.

“Mmm…. Saya, … s-a-y-a belum tahu, Nyonya.”

Nyonya dan sekeluarga memperlakukanku dengan baik meskipun kerjaan di sini sangat melelahkan. Kami makan satu meja bersama. Karena aku tidak diberi jatah libur, ia pun kerap membelikan makanan Indonesia setiap mengantar barang pabrik ke sebuah kantor yang dekat dengan toko Indonesia.

Gaji kerjaku pun di sini utuh karena telepon rumah juga dijatah sebulan sekali oleh nyonya. Hanya satu, nyonya tidak mengizinkanku berpuasa di bulan Ramadan. Selama ini aku melakukan shalat secara diam-diam dan takut ketahuan. Pada jam makan aku pura-pura duduk dengan mereka, pura-pura menyendok dan mengunyah. Padahal, makanan di mangkuk itu aku buang ke belakang.

Aku bergeming. Belum berani memberikan jawaban bersedia atau tidak untuk tanda tangan kontrak kedua bekerja di rumah ini. Tetapi, dalam benakku tebersit pertanyaan, “Jika aku ganti tempat kerja, apakah ada jaminan jika aku akan mendapat yang lebih baik dari ini, atau sebaliknya?” Aku pun menarik napas, membuang segala pertanyaan yang membuatku gamang.

“Bagaimana, Ana?” pertanyaan nyonya menyadarkan lamunanku.

Dengan perlahan dan pasti, aku pun mengutarakan permintaanku. Aku mau melanjutkan kerja jika nyonya meng izinkanku berpuasa di bulan Ramadhan.

“Maaf Nyonya, saya mau melanjutkan kontrak di sini, asalkan nyonya mengizinkan saya untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan saya.”

“Tapi Ana, kalau kamu tidak makan selama sebulan, aku takut kamu jatuh sakit.”

“Tidak perlu takut, Nyonya. Saya tidak akan kelaparan karena menjalankan perintah Allah, sama halnya ketika Nyonya menjalankan ibadah di agama Nyonya. Berpuasa justru akan membuat saya sehat melatih kesabaran.”

Nyonya terdiam. Di wajahnya tersirat kegundahan yang sulit diutarakan. Dia tahu tidak mudah mendapatkan pekerja yang bisa mengerjakan dan bertanggung jawab penuh dengan semua pekerjaan di sini. Apalagi, menghadapi nenek yang sudah pikun dan seperti anak kecil.

“Baiklah Ana, aku akan mengizinkanmu beribadah dan memberimu libur sebulan sekali agar kau bisa bertemu dan beradaptasi dengan orang Indonesia lainnya. Oiya … bukankah hari ini adalah lebaran untuk agamamu? Aku tahu dari melihat berita, yang menyiarkan umat Muslim merayakan hari raya, setelah tidak makan selama tiga puluh hari,” ucap nyonya panjang lebar, “kamu boleh libur hari ini. Keluarlah untuk bertemu sesama orang Indonesia.”

Aku berjingkat bahagia, kupastikan jika ini bukanlah mimpi. Kutampar pipi kananku ternyata sakit. Mimpi apa aku semalam, tiba-tiba Nyonya memerintahkanku keluar untuk libur dan merayakan Lebaran bersama teman-teman.

Ada rasa haru yang menyeruak, tanpa sadar aku melonjak kegirangan seraya meraih tangan nyonya dan menciumnya. Terlepas aku di sini sebagai pekerja, tapi ialah wanita pertama yang memahami ketika pertama aku datang kemari tanpa pengalaman kerja sebagai pembantu.

Nyonya yang mengajariku mengoperasikan mesin cuci dan alat-alat elektronik lainnya, ia juga memberikan buku belajar Mandarin sekaligus kaset. Sehingga, setelah selesai semua pekerjaan, aku bisa belajar bahasa sembari mendengar percakapan di kaset.

“Terima ksih, Nyonya. Kau jadikan aku bagian dari keluarga ini,” ucapku.

 Taipei, 21 Mei 2019

Catatan:

(1) Tempe semangit = tempe yang sedikit busuk karena sudah terlalu lama

(2) Tandur = Buruh menanam padi

(3) Ngasag = Mencari sisa jagung yang sudah diambil pemiliknya.

TENTANG PENULIS

ETI NURHALIMAH, BMI sekaligus mahasiswa Sastra Inggris di UT Taiwan. Peraih juara ke-3 VOI Award RRI  2017, Juri Award Taiwan Literature Award Migran (TLAM)  2017 di  Taiwan, dan juara ke-1  lomba menulis cerpen Inspiratif Forum Pelajar Muslim Indonesia Taiwan (FORMMIT) 2018. Penulis dapat disapa melalui etimelati18@gmailcom.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement