Pada malam takbiran kaum pria bertakbir, mengagungkan nama Allah sepanjang malam hingga Subuh. Sementara, di luar anak-anak memasang petasan dan kembang api. Namun, keramaian itu masih kurang jikalau belum diadakan pukul bedug, adu bedug atau ngarak bedug.
Jamaah tiap masjid atau mushala berganti-ganti memukul bedug dengan riangnya. Bahkan anak-anak saling rebutan. Bukan hanya dipukuli, tapi juga diarak berkeliling.
Malam takbiran juga merupakan saat paling membahagiakan bagi para gadis. Sejak sore hari mereka sudah berdandan, berhias diri seelok mungkin. Karena, mereka yang kala itu masih banyak yang dipingit, diberikan kebebasan keluar rumah. Tentu saja tetap dengan pengawalan orang tua, saudara atau pembantunya.
Umumnya mereka keluar di malam takbiran untuk membeli kembang yang banyak dijual di pasar-pasar. Tradisi pingitan yang telah dikritik oleh RA Kartini seratus tahun lalu baru benar-benar hilang menjelang 1950-an.
Main petasan pada malam takbiran baru dilarang beberapa tahun lalu. Bang Ali pernah menjadikan Jalan Thamrin sebagai arena ‘perang petasan’. Para muda-mudi —di antaranya yang tengahkasmaran — saling melempar petasan sampai subuh. Hingga sampai awal tahun 1990-an banyak orang yang luka parah menjadi korban petasan. Karena membahayakan jiwa dan banyak korban, akhirnya petasan dilarang.
Bermain bumbung juga banyak digemari. Bumbung terbuat dari bambu yang diberi lubang dan diisi karbit. Bagian depannya disumpel pakaian bekas (lap). Setelah lubang itu disundut api, bumbung pun berbunyi seperti meriam, ”jlegur”, dan anak-anak pun saling bersorak.
Setelah bersilaturahim pada hari Lebaran, mereka pergi pesiar ke tempat-tempat rekreasi. Ketika itu Kebun Binatang terletak di Taman Ismail Marezuki (TIM) yang merupakan bekas kediaman pelukis Raden Saleh.
Baru pada 1960-an dipindahkan ke Ragunan. Ke Pasar Ikan sambil naik trem juga banyak digemari, termasuk orang-orang tua yang berziarah ke Luar Batang. Zanvood –tempat pemandian di Priok— juga banyak didatangi, tanpa membayar sepeser pun.
TENTANG PENULIS
ALWI SHAHAB, wartawan senior Republika, sejarawan Jakarta. Pria berdarah Arab ini juga menulis puluhan buku terkait sejarah Batavia.