Jumat 07 Jun 2019 02:02 WIB

Siswi Menstruasi Kerap Alami Perundungan

Sebanyak 39 persen siswi yang mengalami menstruasi mengalami perundungan.

Tip menghentikan pendarahan ketika menstruasi
Tip menghentikan pendarahan ketika menstruasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pelaksana Harian Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Laisa Wahanudin menuturkan sebanyak 39 persen siswi yang mengalami menstruasi mengalami perundungan. Akibatnya, mereka tidak bisa menjalani proses belajar mengajar tidak optimal di sekolah.

"Banyak adik (anak perempuan) kita yang bolos sekolah karena di sekolahnya tidak terdapat fasilitas yang cukup terutama saat dapat ''tamu bulanan'' (menstruasi) karena sekolah tidak ada jamban dan sarana air bersih yang mencukupi," ujar Ketua Pelaksana Harian Jejaring AMPL Laisa Wahanudin dalam Festival Anak Muda: Aksi Remaja Untuk Peduli Menstruasi untuk memperingati Hari Kebersihan Menstruasi Sedunia, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Laisa menjelaskan karena kurangnya pengetahuan, ketika darah menstruasi seorang siswi "tembus" pada rok, anak-anak perempuan seringkali mengalami perudungan (bullying). Hal ini mengakibatkan masalah psikis, misalnya siswi jadi malu dan tidak mau ke sekolah sehingga melepas kesempatannya belajar secara penuh dan bermain di sekolah.

Fakta itu berdasarkan hasil studi Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) yang dilakukan Yayasan Plan Internasional Indonesia pada 2018 di sembilan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Provinsi DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Laisa menuturkan hal mengenai menstruasi masih dianggap sesuatu yang tabu untuk diinformasikan secara luas oleh sebagian besar masyarakat.

Padahal, ia mengatakan, anak-anak terutama anak perempuan seharusnya mendapatkan rujukan dan informasi yang benar dan memadai dari orang di sekitar terutama orang tua. Untuk itu, mereka siap secara fisik dan psikis dalam menghadapi menstruasi sehingga tidak merasa bingung dan takut ketika mengalami menstruasi pertama kali.

photo
Di sejumlah negara berkembang menstruasi masih dipandang tabu, hingga anak perempuan dan wanita yang sedang menjalaninya pun dipandang sebelah mata hingga bisa membahayakan jiwanya. (EPA)

Dia menuturkan anak-anak yang bersekolah di sekolah agama sedikitnya mendapatkan pelajaran tentang menstruasi walaupun hanya sedikit dan belum komprehensif. Namun, sekolah pendidikan umum banyak sekali tidak menyediakan kualitas informasi yang lengkap.

Terkait studi itu, Silvia Devina dari WASH dan Early Childhood Development Advisor, Plan International Indonesia, mengatakan, 88 persen siswi mengalami keluhan fisik seperti sakit perut, pusing, sakit pinggang, lemas saat mengalami menstruasi. Dengan keluhan fisik itu, 37 persen anak perempuan menjadi tidak konsentrasi belajar, 12 persen tidak ikut pelajaran olah raga, tujuh persen istirahat di unit kesehatan sekolah atau tempat lain, 11 persen pulang lebih awal, lima persen tidak masuk sekolah.

Silvia menuturkan 56 persen siswi mengalami keluhan psikis seperti emosional, sensitif, malas, dan terganggunya nafsu makan. Mereka juga mengalami kondisi di mana ditertawakan, dibicarakan, disebut genit, dikatakan tembus menstruasinya, dan orang sekitar mereka menunjukkan sikap jijik.

Siswi yang menstruasi juga mengurangi aktivitas mereka misalnya, pekerjaan di dalam dandi luar rumah, menghindar dari teman laki-laki, aktivitas keagamaan, pertanian atau perkebunan.

Fasilitas kebersihan

photo
Siswa sekolah (Ilustrasi). (Republika)

Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) menekankan sekolah-sekolah di Indonesia harus menyediakan dan meningkatkan fasilitas kebersihan menstruasi. "Di sekolah juga fasilitas kebersihan menstruasi masih memprihatinkan dan tidak ramah perempuan," kata Lalisa.

Menurut hasil studi Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) yang dilakukan Yayasan Plan Internasional Indonesia, studi manajemen kesehatan menstruasi (MKM) juga mengungkapkan 33 persen sekolah tidak memiliki toilet yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Sekolah juga belum sepenuhnya sigap untuk menyediakan fasilitas yang baik bagi para siswi yang sudah menstruasi.

Fakta di lapangan siswi yang sedang menstruasi, mengganti pembalut tiga kali dalam sehari, dan 21 persen siswi mengganti pembalut di sekolah. Sebagian mencuci tangan tanpa sabun sebelum membersihkan area kewanitaannya.

Namun, semua cuci tangan pakai sabun setelahnya. Pembuangan pembalut, ada yang dibungkus lalu dibuang ke tempat sampah, ada yang dikubur, dibakar dan parahnya ada yang dibuang ke sungai.

photo
Sakit perut karena menstruasi/Ilustrasi

Laisa menjelaskan ada satu dari dua sekolah yang tidak memiliki jamban yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Padahal Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1429/MENKES/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah terkait fasilitas sanitasi sekolah, rasio untuk satu jamban harusnya maksimal dipakai oleh 25 siswa putri, dan satu jamban digunakan maksimal 40 siswa putra. Rasio ideal toilet sekolah masih jauh dari terwujud.

Silvia Devina dari WASH dan Early Childhood Development Advisor, Plan International Indonesia, mengatakan ketersediaan fasilitas sanitasi akan mempengaruhi kemampuan siswi melakukan manajemen kebersihan menstruasi di sekolah. "Anak-anak menjadi enggan ganti pembalut di sekolah, akhirnya delapan jam memakai pembalut yang sama dan gantinya di rumah karena tidak nyaman di sekolah dia memilih pulang dulu baru ganti pembalut," ujarnya.

Dia berharap ketersediaan fasilitas untuk mendorong kebersihan menstruasi harus ditingkatkan di sekolah-sekolah agar anak-anak perempuan nyaman mengganti pembalut di sekolah, sehingga tidak harus mengganti di rumah seusai pulang sekolah, karena untuk keperluan menjaga kebersihan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement