Selasa 28 May 2019 16:23 WIB

Mempertimbangkan Calon Ibu Kota dengan Studi Risiko Bencana

Studi risiko bencana amat penting meski tidak ada tempat di RI yang bebas bencana

Ilustrasi Ibukota Pindah
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Ibukota Pindah

Dalam rapat terbatas kabinet, pemerintah menegaskan isu lama kepindahan ibu kota. Keluar dari ruangan itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas berbicara mengenai rencana studinya. Wakil Presiden pun berkomentar tentang kesulitannya. Dari tiga informasi resmi tersebut, isu lama ini menjadi penting untuk dikaji.

Mengapa ibu kota perlu pindah? Menteri Bambang mengatakan karena Jakarta sudah terlalu padat, macet, dan lekat dengan bencana banjir. Sinergi dari ketiganya menimbulkan kerugian 56 triliun pada 2013.

Berapa kerugian masing-masing elemen tersebut? Studi risiko bencana banjir Jakarta bisa menjawab dari sudut pandang ketiga, yang nantinya juga akan menyentuh elemen pertama, dan sedikit ke elemen kedua.

Adalah modeling risiko bencana yang sudah publish di beberapa jurnal diantaranya Springer dan Natural Hazards and Earth System Sciences yang mengungkap risiko atau annual expected loss banjir Jakarta. Pendekatan ini juga tentu bisa berguna untuk menghitung kerugian banjir pada kejadian faktual, baik yang besar atau pun yang kecil, di masa lalu maupun proyeksinya di masa yang akan datang.

Manfaat lain dari model ini adalah dukungannya terhadap sistem kebijakan (DSS) karena unit perhitungannya dalam moneter/rupiah sehingga mudah diintegrasikan dengan perencanaan wilayah. DSS ini juga bisa diterapkan untuk calon ibukota lain agar kita punya perbandingan yang setara.

Kajian risiko bencana sebenarnya sudah menjadi amanah PBB. Di Indonesia ia dirintis sejak NAP-DRR oleh Bappenas dan BNPB pada 2010 dengan bantuan UNDP. Salah satu produk masifnya adalah inaRISK. Hanya saja, risiko dalam inarisk menggunakan  angka numerik antara 0-100 (atau lebih), yang menurut saya lebih sulit diintegrasikan kedalam kebijakan wilayah.

Hasil modeling yang sudah ada menunjukkan bahwa risiko banjir Jakarta adalah 321 juta dolar AS per tahun. Apa artinya ini? Dengan situasi hidrologi pada masa sebelum ada Banjir Kanal Timur (BKT) ada, DKI membayar Rp 4,5 triliun per tahun. Uang sebanyak ini tentu ditanggung bersama antara pemerintah, swasta, dan penduduk karena tempat mereka kebanjiran.

Darimana angka ini muncul? Ia dihitung dari model Damagescanner-Jakarta yang menintegrasikan model luapan, tata guna lahan, dan kurva kerentanaan di tiap sistem lahan. Maka besaran sharing kerugian ini bisa dilihat dari peta spasial yang dihasilkan oleh model. 

Sebagai sebuah model, hasil perhitungan ini sudah diuji dengan beberapa pembanding diantaranya laporan Bappenas atas kerugian langsung banjir Jakarta pada 2002 dan 2007, yang kemudian menjadi tesis umum bahwa Jakarta akan mengalami banjir besar tiap lima tahun disamping banjir-banjir kecil yang selalu bersilaturahim tiap tahun. Bappenas menggunakan metode ECLAC yang juga digunakan oleh PBB untuk beberapa wilayah lain.

Pada situasi setelah BKT beroperasi, kerugian tahunan turun menjadi 186 juta dolar AS per tahun atau hampir 4 persen dari APBN DKI Jakarta pada kurun 2016-2018.. Dari selisih angka hasil modeling antara situasi hidrodinamika 2007 dan 2012 dengan segera kita tahu bahwa BKT dan infrastruktur banjir yang dibangun pada kurun 2007-2012 telah efektif menurunkan risiko banjir sebanyak 55 persen. Artinya pula, pemerintah pusat dan pemerintah DKI telah bahu-membahu berinvestasi dan menurunkan risiko banjir sebanyak 2.5 triliun per tahun.

Yang tidak kalah penting dari model adalah kemampuannya mengungkap faktor utama kerugian banjir selama ini. Berturut-turut, ia adalah penurunan muka tanah (land subsidence), kenaikan muka air laut, perubahan sosial-ekonomi sebagaimana tampak pada perubahan tata guna lahan, dan perubahan klimat global. Bila dua elemen pertama berkontibrusi negatif atau menaikkan kerugian tahunan akibat banjir, dua elemen terakhir bisa berkontirbusi negatif dan positif. 

Land subsidence berpotensi menaikkan risiko dari 186 juta dolar per tahun menjadi 421 juta dolar pada 2030 atau bertambah 126 persen. Ini pun bila kita mampu menahan laju land subsidence pada 2025 sebagaimana Tokyo telah mampu melakukannya pada pertengahan 1970-an. Bagaiman bila kita tidak berhasil menghentikan laju land subsidence?

Kita benar-benar tidak bisa memprediksi secara adil perubahan rona hidrodinamika Jakarta bila land subsidence terus berlanjut. Lalu, apa penyebab land subsidence sehingga kita harus efektif menghentikannya?

Ada perbedaan pendapat antara keumuman jurnal ilmiah dan pendapat pengelola wilayah terutama di Indonesia. Jadi, kita perlu duduk bersama untuk mengurai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang ingin kita kerjakan. Kita berarti warga di beberapa tempat di pantai Timur Sumatera, hampir seluruh warga pantai Utara Jawa, dan mungkin nantinya di pantai Selatan Kalimantan. Disana dikenal kata banjir rob, yang berarti banjir karena lautnya meluap.

Bagaimana dengan kenaikan muka air laut, perubahan tata guna lahan, dan perubahan klimat global? Untuk tidak memperpanjang diskusi dan fokus ke permasalahan model risiko dan kepindahan ibukota, satu hal penting dari model adalah prediksi bahwa rencana tata guna lahan DKI 2030 yang mampu menurunkan risiko banjir sebanyak 12 persen. Sebuah contoh yang indah bagi upaya Menteri PUPR mengumpulkan arsitek dan seniman untuk perencanaan ibu kota yang baru.

Hal lain yang menarik dari model adalah kemampuannya memproyeksikan situasi di tahun 2030 dan 2050. Bila empat elemen utama diatas diintegrasikan maka pada 2030-2050 risiko akan naik antara 111 persen hingga 262 persen. Angka ini sangat lebar karena model melibatkan banyak elemen yang bisa sangat berubah.

Calon Ibu Kota

Bagaimana dengan calon lokasi lain dalam sudut pandang risiko bencana? Palangkaraya ada di pertengahan Sungai Kahayan yang panjangnya lima kali panjang Sungai Ciliwung. Perubahan pasang-surut laut yang dirasakan Kahayan hingga jarak 50-80km dari pantai menunjukkan wilayah ini sangat datar.

Maka saya kira tingkah laku banjir kota Palangkaraya lebih banyak dipengaruhi oleh hujan lokal, berbeda dengan Jakarta yang banjirnya lebih disebabkan oleh luapan lima sungai utama yang membelah ibu kota ini dari dataran yang lebih tinggi tinggi hingga kemudian bermuara ke pantai Jakarta.

Bencana lain yang tidak kalah penting bagi Palangkaraya adalah bentukan lahannya dari gambut yang idealnya tidak sampai mengalami kekeringan. Data BNPB menunjukkan bahwa kebakaran dan kebakaran hutan adalah bencana kedua setelah banjir. Di bagian bencana ini, studi di BPPT dan institusi lain saya kira sudah cukup mumpuni. Salah satu buktinya adalah Pusat Riset Gambut Tropika di Pontianak.

Sementara itu Kabupaten Mamuju yang bergunung-gunung butuh tambahan model bencana berbeda. Data BNPB menunjukkan bencana kedua di Mamuju setelah banjir adalah longsor. Di bagian ini, BPPT baru sampai pada telaah statistik dan morfologi lahan. Butuh satu atau beberapa tahun lagi untuk melahirkan model bencana longsor dan kemudian mengkonstruksi model risikonya.

Itu pun kalau penuntun kebijakannya masih menyukai studi longsor. Bila tidak, para ahlinya harus outsourcing mencari dana dari negeri yang jauh.

Sebuah konsekuensi kepakaran yang tidak serasi dengan kebijakan. Waktunya mesti berkejaran dengan tenggat kajian ibu kota yang sudah masuk dalam RPJMN 2020-2024.

Seberapa penting studi risiko bencana bagi pemilihan ibukota baru? Dalam kalimat yang sederhana, bila tujuan pemilihan ibu kota adalah menghindari bencana sejatinya hampir tidak ada tempat di Indonesia yang bebas dari bencana.

Peta inaRISK BNPB menunjukkan hal ini. Di dataran rendah kita menerima amanah banjir, di pegunungan kita mendapat hadiah longsor atau muntahan gunung berapi. Di wilayah pengantara keduanya kita mendapat tornado, yang meskipun dalam skala mini sudah cukup untuk merusakkan hasil panen dan rumah penduduk.

Di wilayah yang berbukit-bukit kita mendapat guncangan tektonik. Maka wajar bila dalam beberapa pertemuan internasional, saya sering mendengar: "Tempatmu adalah supermarket bencana!". Sementara itu, banjir adalah yang paling sering karena Indonesia diliputi banyak lautan yang naik ke langit dan turun sebagai berkah.

Pengirim: Dr. Yus Budiyono, Modeler di Pusat Teknologi Risiko Bencana/BPPT

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement