Aku kembali menyelami fantasi Edi, mengingat kisah ini dari budheku sendiri yang tidak lain adalah ibu dari Mas Edi saat kami bertemu di hari Lebaran. Isak pilu aku mendengarnya. Bahkan, budhe tak bisa menahan air matanya saat bercerita.
Sudah tentu melihat budhe meleleh, rasanya air mata ini juga tidak bisa dibendung. Gemuruh batin seolah ingin mengeluarkan budhe dari kepahitan hidup. Ibuku yang adalah adik kandung Buk Mun juga tak bisa berbuat banyak waktu itu sebab kehidupan kami pas-pasan.
Di cerita itu, budhe hampir-hampir putus asa. Pernah lewat seminggu Edi belum juga sembuh dari demam. Tubuhnya panas namun dia merasa menggigil kedinginan. Berat badannya tampak turun. Pipinya cekung dan matanya sembap. Tentu saja Buk Mun sangat khawatir.
Dia harus segera membawa putranya ke puskesmas. Sapu-sapu dompet masih cukup untuk biaya berobat tapi tidak untuk biaya opname. Buk Mun akhirnya memilih merawat Edi di rumah. Kedua adiknyalah yang membantu menjaga Edi ketika Buk Mun sedang bekerja mencari uang.
Pak Ngadimin terpaksa harus mencari pengganti Edi. Maka tak berpikir panjang, Buk Mun rela menggantikan posisi itu.
“Jangan engkau, Mun,” kata Pak Ngadimin.
“Jangan lagi jika engkau pecat Edi, Kang. Hasil parkir ini lumayan bagi kami.”
Pak Ngadimin menghela napas panjang. “Bukan karena engkau perempuan, Mun. Tapi, engkau tak menguasai medan. Engkau bahkan tak tahu arah setir.”
“Engkau lupa, Kang. Almarhum bapaknya Edi adalah sopir truk. Aku pernah ikut menemani beliau mengantar barang antarprovinsi. Jangan ragukan kemampuanku. Aku paham soal arah kendaraan.”
“Demi upah engkau rela mengambil resiko di jalan? Cari upah sebagai buruh cuci saja, Mun,” terang Pak Ngadimin.
“Demi recehan yang bisa kunantikan setiap hari, Kang. Recehan yang bisa mengobati Edi, biaya sekolah si bungsu, dan sekedar membeli beras.”
Mendengar tutur Buk Mun, Pak Ngadimin jadi iba. Meski sesama orang tak berpunya, mereka saling membantu dan memahami satu sama lain. Sementara, aku yang memperhatikan kisahnya langsung dari beliau saja serasa tak kuat menahan haru.
“Lah iya, Dik, yang membuat kehidupan ini hanya Yang di Atas. Mbak hanya bisa menjalani,” jelas Buk Mun kepada ibuku.
“Iya, Mbak.” Tak banyak kata yang ke luar dari mulut ibu.
“Gimana rasanya ketika jadi tukang parkir, Budhe?” tanyaku tiba-tiba penasaran.
Buk Mun mengusap tangisannya. Dia tertawa kecil.
“Masih selamet. Budhe bisa markir, Nak. Meski sebenarnya waktu itu tidak bisa. Rasanya deg-degan khawatir penyokin mobil orang. Masmu Edi itu yang pinter. Alhamdulillah budhe markir hanya dua minggu saja. Mas Edi yang ngambek, cepat-cepat ingin sembuh karena Budhe tidak boleh jadi tukang parkir.”
Obrolan kami mengalir. Ketika itu bukanlah karena Buk Mun ingin dikasihani. Beliau hanya ingin membagi pengalaman hidup dengan ibuku, adik satu-satunya, bahwa kami harus selalu optimistis menghadapi kenyataan hidup. Di akhir perbincangan itu, budhe hanya ingin didoakan agar kelak bisa merasakan kebahagiaan di dunia dan negeri kekal di pangkuan Tuhan.
Lebih dari itu, memori kisah budhe telah menegur tindakanku pagi ini. Hidup memang perjuangan. Tak bisa dimungkiri jika kepingan receh adalah salah satu yang perlu diperjuangkan. Tentu saja hanya demi sesuap nasi dan menyambung hidup.
Aku teringat kata-kata budhe, ibarat sebuah tubuh, orang yang tidak memiliki uang itu bagaikan sakit seribu penyakit. Getir sekali. Bisa jadi remaja tukang parkir yang baru saja kutemui di depan ekspedisi sedang berjuang melawan kegetiran hidup. Seperti Edi masa itu.
Alangkah serakahnya diri ini. Menjadi manusia dengan jiwa terkunci. Hanya karena recehan yang tak ingin dibagi. Apalagi jika bersedekah yang lebih tinggi. Oh, betapa malunya hati. Maafkan aku, Tuhan.
Ketika Engkau mempertemukan dengan seorang yang membutuhkan, seperti mereka para pengamen, tukang parkir, atau pengemis sekalipun, itu artinya bukan ketidaksengajaan melainkan sebuah kesempatan. Kesempatan untuk saling memberi. Sekadar membubuhkan recehan yang mungkin sangat dinanti. Namun, tentu saja aku harus menerka dalam-dalam bahwa mereka yang melakukannya adalah mereka yang terpaksa, bukan yang menyengaja. Sekali lagi, maafkan atas keserakahan ini, Tuhan.
TENTANG PENULIS
TYAS W adalah penggiat FLP (Forum Lingkar Pena) Sidoarjo. Beberapa naskah yang pernah dirilis antara lain buku solo Muslimah in Action (Meja Tamu, 2018) dan Antara (JWriting Soul Publishing, 2019) serta buku antologi Senandung di Ujung Pena (Embrio Publisher, 2018) dan Surat Cinta untuk Bidadariku (JWriting Soul Publishing, 2019). Penulis dapat dihubungi melalui surel: [email protected] atau follow FB Tyas Sar.