Kamis 16 May 2019 11:42 WIB

Tahlil Kerinduan

Izinkan aku untuk membaca tahlil kerinduan di atas pusaramu

Sedih dan menangis (ilustrasi).
Foto:

Aku tak pernah menyangka, Ramadhan kala itu, menjadi Ramadhan terakhirku bersamamu. Tak pernah sedikit pun terbersit di hatiku, jika kau akan pergi dengan sangat cepat. Meninggalkanku dalam lautan cinta yang tak berujung. Meninggalkan Alfin yang baru berumur dua tahun.

Satu hal —dari sekian banyak hal— yang tidak bisa aku lupakan sampai saat ini adalah kesabaran dan kelembutanmu. Aku masih merekam dengan jelas bagaimana kesabaranmu dalam melayaniku. Terlebih pada Ramadhan terakhir kita, pelayananmu yang luar biasa, seakan menjadi isyarat bahwa sebentar lagi kau akan pergi.

Saat itu, kau begitu sabar saat membangunkanku untuk makan sahur. Terkadang, aku tertidur dalam pulas yang sangat sebab letih yang terkadung menyengat. Kau selalu bersabar menungguiku sambil menepuk lembut punggungku. Padahal aku tahu, bahwa kau sedang menahan lelah.

Pukul dua dini hari kau harus terbangun untuk menyiapkan menu makan sahur, setelah kau melakukan salat tahajud beberapa rakaat. Dan ketika aku membuka mata, yang pertama kali aku lihat adalah senyummu yang merona. Padahal sedini itu, adalah waktu termalas untuk tersenyum.

Jika matahari sudah menyingsing, aku terkadang masih menambah tidur, untuk menghabiskan kantuk yang tersisa setelah makan sahur. Padahal aku tahu, kau sedang sibuk mencuci perabotan di dapur. Lalu kau sibuk mencuci pakaian di kamar mandi. Dan kau sibuk memandikan Alfin.

Saat aku terbangun dari tidur pagiku itu, aku terbiasa melihatmu sedang tegak melaksakan salat Duha. Lalu kau duduk dengan khusuk menghadap ke barat. Sedang Alquran berada di pangkuanmu.

Hingga pada suatu ketika, di siang Ramadan yang kelam, saat aku terjaga dari tidur pagiku, aku menemukanmu sedang bersujud dalam salatmu. Sebenarnya aku menemukan suatu kejanggalan. Tidak biasanya kau salat Duha sesiang itu, pukul 10:30. Aku hanya tersenyum menekan kejanggalanku itu. Mungkin sedari tadi kau sibuk dengan pekerjaan rumah, sehingga kau baru sempat salat Duha setelah siang menyapa.

Aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Aku bermaksud untuk juga melakukan Shalat Dhuha di sisimu. Namun, sampai aku selesai mandi, kau tetap tertunduk dalam sujud panjangmu. Sebab firasat tidak enak yang tiba-tiba hinggap di hatiku, aku menggerak-gerakkan pundakmu. Namun ternyata, tubuhmu malah limbung ke samping.

Tubuhmu kaku, tidak bergerak sama sekali. Aku memeriksa lubang hidungmu dengan telunjukku, tak ada napas yang berembus dari dalamnya. Aku temukan nadimu sudah tak berdenyut lagi. Sungguh aku masih tak percaya bahwa kau telah tiada. Aku terpaku. Hanya linangan air mata yang mengalir di pipiku, lalu terjatuh di lenganmu yang membeku.

***

Sungguh aku sangat terpukul atas kepergianmu yang secara tiba-tiba. Beberapa hari setelah kepergianmu, aku baru tahu bahwa kau mengidap penyakit kronis. Barangkali kau sengaja merahasiakannya dariku sebab kau tidak ingin mengganggu perjalanan bisnis yang baru aku rintis. Ah, entahlah.

Beberapa bulan setelahnya, bayanganmu masih bersemayam dalam ingatanku. Linangan air mata berulangkali terjatuh ketika melihat tempat sujud terakhirmu. Aku bagaikan kehilangan arah tenpa kehadiranmu. Aku sudah tak peduli lagi pada bisnisku. Aku sudah tak peduli lagi pada hidupku. Aku mengabaikan banyak orang di sekitarku. Aku merasakan suasana hati yang teramat sangat hampa meski tubuhku tengah berada dalam keramaian.

Hingga akhirnya, atas saran beberapa orang, aku memilih untuk pindah domisili. Agar ingatan dan perasaanku tidak kambuh lagi jika melihat benda-benda yang menjadi saksi bisu perjalanan cinta kita. Aku pergi jauh ke luar kota —bahkan keluar provinsi— membawa Alfin dan kedua orang tuaku. Aku membangun kehidupan dan keluarga yang baru, demi dapat melupakan semua hal yang berhubungan denganmu.

Di tempat tinggalku yang baru, aku dipertemukan dengan seorang perempuan, yaitu putri seorang tokoh masyarakat. Perempuan yang perawakan dan umurnya tidak jauh beda denganmu. Hanya saja, kata mereka, dia lebih cantik darimu, dengan dua lesung pipi yang menyempurnakan manisnya senyumnya. Begitulah kata mereka, tapi tidak menurutku. Sebab bagiku, kau adalah segala.

Meskipun begitu, aku tetap menerimanya dengan baik di rumah baruku. Aku juga berusaha membuka hati selebar-lebarnya untuknya. Aku memperlakukannya dengan sangat istimewa. Namun rupanya, memindah hati tidak semudah memindah domisili.

Tujuh Lebaran sudah hidupku ditemani olehnya, tetapi suasana hatiku tetap hampa seperti awal mula. Jujur saja, sampai saat ini aku masih tidak bisa mencintainya. Rasa cinta di hatiku seperti telah sirna, sebab sisa cintaku telah aku persembahkan untukmu seluruhnya. Keberadaannya di alam nyata, terasa tiada di dalam jiwa. Aku sudah berusaha sekuat-kuatnya untuk mencintainya, berulangkali, tetapi aku tetap tidak bisa. Namun aku tetap memperlakukannya dengan baik, layaknya seorang istri yang aku cintai. Hanya untuk menjaga perasaannya.

Dan, pada lebaran kali ini, dalam rutinitas ziarah tahunanku, aku sengaja membawa perempuan itu. Aku ingin mengenalkanmu kepadanya. Dan juga aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa putramu tumbuh menjadi lelaki rupawan. Lihatlah, ia sangat mirip sekali denganmu. Senyumnya dapat mengingatkanku pada senyummu yang merona.

Kini, sudah saatnya perempuan itu tahu siapa yang sedang kita ziarahi. Sudah saatnya ia tahu bahwa sampai saat ini, aku tidak bisa menghadirkan cinta untuknya. Sudah saatnya ia tahu bahwa perempuan yang sedang kita ziarahi telah menghabiskan semua perasaanku. Begitupun, sudah saatnya Alfin tahu, bahwa ibunya bukanlah perempuan yang kini ada di sampingnya, tetapi ibu biologisnya ialah perempuan yang sedang kita ziarahi ini.

Namun sebelumnya, izinkan aku untuk membaca tahlil kerinduan di atas pusaramu dengan perempuan itu. Sebab aku khawatir, ia tidak mau lagi diajak berziarah ke pusaramu, setelah rahasia besar ini ia ketahui.

TENTANG PENULIS

BAQIR MADANI, lahir di Karangpenang Sampang Madura, pada 9 April 1996. Ia masih tercatat sebagai santri di PP Sidogiri, Pasuruan. Tulisan-tulisannya tersebar di media internal dan eksternal pesantren.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement