Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan berupaya untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, terutama dalam menghasilkan output peserta didik yang cakap. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan menerapkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Pemerintah memandang perlu Penguatan Pendidikan Karakter dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. (Humas Sekretariat Kabinet). Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Sekilas kebijakan PPK terlihat bagus dan dianggap sebagai solusi, karena diharapkan akan mampu mencetak generasi hebat sesuai dengan karakter yang digagas pemerintah. Alih-alih generasi hebat yang dihasilkan, nyatanya kebijakan tersebut selayaknya teori saja tanpa terlihat hasilnya.
Bahkan, bertentangan dengan fakta sebenarnya. Sebagai contoh, bagaimana mungkin mencetak generasi yang religius, jika pelajaran agama hanya mendapat porsi sedikit dalam seminggu. Bagaimana caranya agar menghasilkan generasi yang jujur sedangkan kecurangan dan ketidakadilan sangat nyata di depan mata dan dilakukan oleh berbagai kalangan, dari tingkat elit hingga masyarakat biasa.
Indikator keberhasilan siswa dalam menerapkan nilai-nilai karakter pun tidak jelas dan hanya sebatas penilaian di atas kertas. Pencapaian keberhasilan dari penerapan nilai-nilai karakter hanya melalui serangkaian tes yang dilaksanakan siswa dan dinilai oleh guru selama di sekolah. Tidak menjadi soalan apakah nilai-nilai karakter tersebut telah terhujam kuat dalam diri siswa dan akan senantiasa dilakukan di luar lingkungan sekolah.