Ahad 26 May 2019 09:03 WIB

Kepada Mathara, dari Ibu

Petang mulai menerka angkasa, burung gereja berpulang

Matahari Terbenam (ilustrasi).
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Matahari Terbenam (ilustrasi).

Petang mulai menerka angkasa

Burung gereja berpulang, pada anak dan sarangnya

Di tanah seberang, buruh-buruh itu

Mulai meninggalkan rangka

Dari bakal gedung yang akan sungguh megah

Dengan zalimnya menebas

Warung dan omah cilik di sekitar

Terlihat cetakan langkah lelaki itu

Hendak bersinggah pada warungku

Sang warung terkepung

Di antara ramainya pusat Kabupaten

Dan penatnya Bandar Giriwasi

Dari Bandar Giriwasi, lusinan kelasi bersandar

Berpelesir sejenak

Mereka jua lah, singgah ke sang warung

Merayu dan manja padaku

Dalam doaku, pada Gusti

Dan antrean lelaki di batas warung

Semoga malam ini

Rezeki berziarah pada warungku, walau hanya

semalam

Ampuni sahaya, Gusti

Sahaya harus memberi urip

Pada Mathara dan segala napasnya

Tiada lagi mereka menerima karsa sahaya

Telah terhina sahaya, di tanah tinggal sendiri

Dalam ronaku,

Dengan gincu memerah lelah

Terpaksa memancar cerah

Bayangan mata kuning cokelat keemasan

Menutup alur air mata tangisan

Dalam rapuhnya mestika ku

Aku bersua dengan lelaki-lelaki itu

Mulai yang necis hingga beraroma amis

Aku melayani dahaga mereka

Dimulai dengan secangkir kopi tubruk

Ampuni sahaya

Tiada sahaya merela, mestika nan mulianya diri

Berhadapan pada lelaki jalang bermata nanar

Tolong Gusti, pertemukanlah sahaya

Dengan sosok bak Pangeran Diponegoro

Yang memerdekakan sahaya

Dari keangkeran warung ini

Tak selalu bangsa lelaki

Tiap hari, datangnya bala lusinan

Mbok-mbok penjaja simping hingga rajungan

Untuk melepas keringnya lambung, lalu

kerongkongan mereka

Tak pernah sang awak sambat

Sebungkus nasi karak terhantar pada mereka

Tak perlu mereka pusing

Bagaimana sebungkus nasi karak

Ditukar oleh lembaran arta, bawalah saja

Kutambah satu bungkus

Untuk tole, genduk, lalu suami

Kemarilah ke warungku

Sebagai tempat di mana engkau

Dimanusiakan oleh sesamamu

Hingga suamimu terpanggil kembali, oleh Ibu Laut

Pertanda Ikan Manyung

Telah melahirkan berjuta keturunan segar

Mathara, manusia gemar menjejak dan berlalu

Dahulu, bapakmu menjejak pula

Senyap dan meneduhkan

Seakan seluruh Bandar Giriwasi

Takzim menatap romannya

Ibumu begitu lugu, dahulu

Dijanjikan berlayar, ke Tanah Bebian, lalu keliling

dunia

Terlanjur ibu berikan pedalaman ini

Nyatanya, nihil

Tak sampai ibu merasa surga Tanah Bebian,

apalagi dunia lainnya

Jenat nan kaku hati ibu, melebur

Hingga surga itu akhirnya lahir

Itulah dirimu, nak

Surga yang tak diinginkan mereka, hingga bapakmu

Kini ibu rengkuh dengan mudahnya

Ibu masih menunggu bapak

Di amben kecil

Di batas antara warung dan Bandar Giriwasi

Turun dengan gagah dari kapal

Mengajakku dan kau, ke Tanah Bebian, lalu dunia

yang lain

Ah, rasanya nihil dan pengap

Bapakmu telah menyaru dengan ketiadaan

Manusia di sini

Tak jua memanusiakan ibu dan dirimu, nak

Orang kapiran dan hina kita ini

Tetapi mengapa, kini saatnya aku berpongah

Hanya ketika perut mereka layu

Barulah mereka menjadi manusia melas dan asih

Ingin rasanya ibu berkhotbah

Daku masih manusia, kalian bajul buntung, ora

menungsani blas!

Apalah dayaku

Hanya seorang penghibur yang lelah

Untuk Mathara, lelaki-lelaki itu

Kemudian perut-perut kering yang menggeliat

Dalam temaramnya pelita warung

Sang warung merupakan dialek Jawa Gresikan

yang berarti Warung milik saya

Nasi Karak merupakan makanan khas Gresik

yang terdiri dari ketan hitam, srundeng kelapa,

dan tempe goreng tepung

Sang awak sambat merupakan dialek Jawa Gresikan

yang berarti Aku mengeluh

TENTANG PENULIS

EDELIYA RELANIKA PURWANDI, aktif menulis baik fiksi maupun nonfiksi. Karyanya dapat dilihat di sejumlah media massa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement