Ahad 26 May 2019 04:07 WIB

Berburu Malam Seribu Bulan

Malam seribu bulan seindah malam dengan seribu bola lampu, bahkan lebih indah

Berburu Malam Seribu Bulan
Foto:

Malam ke-25 juga malam ke-27. Anwar tidak tidur di rumah, melainkan sengaja berburu malam seribu bulan di mushala bersama jamaah lain. Tampak Ustaz Halim berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang beribadah iktikaf. Karena malu baru bermalam di tempatnya Shalat Tarawih, Anwar berpura-pura tiduran tetapi terlelap jua. Bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas III itu masih terlalu kecil untuk tak tidur semalaman.

Anwar kembali kecewa karena dua kali di malam ganjil itu ia ketiduran melulu. Namun, ia masih tersenyum karena mendengar orang-orang masih juga berburu malam seribu bulan pada malam ganjil berikutnya.

“Berarti belum juga bulan menjadi seribu.”

Malam ke-29. Anwar yang tengah bersila dan merapal zikir terkejut ketika punggungnya ditepuk oleh seseorang. Ia menengokkan kepalanya lalu menghadapnya.

“Oh, ustaz Halim. Mari silakan, Ustaz,” sembari mempersilakannya duduk bersama.

“Nak Anwar putranya bapak Salim, kan?”

“Betul, Ustaz.”

“Beberapa malam ini saya sering lihat Nak Anwar tidur di mushala ini, apa ayahmu tidak mencari-cari?”

“Saya sudah izin, Ustaz.”

“Oh, bagus,” ucapnya sambil manggut-manggut.

“Ustaz, saya ingin bertanya,“ ucap Anwar kemudian berhenti untuk menyusun kata-kata, “beberapa malam ganjil ini saya berburu lailatul qadar seperti ceramah ustaz Halim.”

“Wah, bagus itu Nak Anwar, terus?”

“Saya selalu tertidur sebelum melihat malam seribu bulan. Apakah bulannya sejumlah seribu? Saya tengok bulannya tetap satu bahkan makin berganti malam-malam ganjil bentuk bulannya makin kecil dan hilang.”

“Aih,“ Ustaz Halim tergelak, “Nak Anwar ada-ada saja. Bukannya malam seribu bulan itu bulannya berjumlah seribu, melainkan keistimewaannya melebihi seribu bulan. Seribu bulan kalau dihitung kurang lebih 83 tahunan.”

“He he he, saya yang keliru.”

Lailatul qadar adalah rahmat dari Allah untuk umat Nabi Muhammad SAW yang usianya tak sampai seratus tahun sehingga tidak dapat untuk beribadah selama seribu bulan. Oleh karena itu, diberilah kedatangannya di setiap bulan Ramadan pada malam-malam ganjil yang selalu dirahasiakan kapan kehadirannya agar umat Islam berlomba-lomba mendapatkan malam seribu bulan itu dengan beribadah supaya memperoleh ampunan Allah.”

Anwar manggut-manggut lalu tersenyum. “Berarti malam ini masih ada kesempatan untuk mendapatkan malam seribu bulan itu?”

“Insya Allah, Nak Anwar.”

Malam itu Anwar kembali terlelap, tapi dalam tidurnya ia bermimpi diperlihatkan malam seribu bulan. Saat di bangunkan sahur, ia bergegas menemui Ustaz Halim.

“Saya bermimpi bertemu malam seribu bulan.”

“Subhanallah, mimpi yang indah.”

Pagi itu hari terasa begitu menyejukan dan matahari bersinar keperakan sebagaimana cahaya rembulan.

TENTANG PENULIS

FARIS AL FAISAL, lahir dan tinggal Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Forum Masyarakat Sastra Indramayu (FORMASI). Menulis fiksi dan nonfiksi. Karya fiksinya adalah novel Bunga Narsis Mazaya Publishing House (2017), Antologi Puisi Bunga Kata Karyapedia Publisher (2017), Kumpulan Cerpen Bunga Rampai Senja di Taman Tjimanoek Karyapedia Publisher (2017), Novelet Bingkai Perjalanan LovRinz Publishing (2018), dan Antologi Puisi Dari Lubuk Cimanuk Ke Muara Kerinduan Ke Laut Impian Rumah Pustaka (2018). Sedangkan, karya nonfiksinya, yaitu Mengenal Rancang Bangun Rumah Adat di Indonesia Penerbit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017).  Puisi, cerma, cernak, cerpen, dan resensinya tersiar berbagai media cetak dan online . Tulisan lainnya terhimpun dalam antologi puisi dan cerpen bersama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement