Selasa 07 May 2019 18:46 WIB

Komite Nasional Vokasi Bisa Bantu Cegah Anggaran Ganda

Komite tersebut dapat bermanfaat untuk mengefisienkan penggunaan anggaran vokasi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Esthi Maharani
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf.
Foto: DPR RI
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah berencana untuk membentuk Komite Nasional Vokasi. Komite tersebut, salah satu tujuannya agar berbagai pelatihan vokasi yang berada di bawah 16 kementerian dan lembaga dapat lebih tertata. Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf menilai, komite tersebut dapat bermanfaat untuk mengefisienkan penggunaan anggaran vokasi.

“Sejauh ini saya masih menyambut positif. Ini supaya pelatihan vokasi yang ada itu lebih tertata dan tidak double anggaran karena sekarang kondisinya tidak efisien,” kata Dede kepada Republika.co.id, Selasa (7/5).

Dede mengatakan, saat ini masing-masing kementerian lembaga yang memiliki program pelatihan vokasi menggunakan anggaran yang cukup besar. Jumlahnya miliaran hingga triliunan. Jika anggaran tersebut disatukan, setidaknya penggunaan anggaran dapat lebih dipetakan dan tidak tumpang tindih. Komite Nasional Vokasi, menurut Dede, bisa ditugaskan untuk mengurus hal itu.

Ia mencatat, rata-rata dasar pengetahuan yang diberikan dalam pelatihan vokasi di masing-masing kementerian lembaga tidak jauh berbeda. Kerap kali, justru pelatih yang digunakan adalah orang yang sama.

Keberadaan lembaga pelatihan vokasi, dinilai Dede, juga mendorong adanya suatu perebutan kewenangan dalam pengembangan tenaga kerja. Ia mencontohkan, seperti Lembaga Kursus dan Pelatihan yang dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) miliki Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

“Ini dua-duanya melakukan hal yang sama dengan biaya yang besar. Ini tidak efisien,” kata dia.

Dede menegaskan, isu utama lapangan pekerjaan di Indonesia bersumber dari kualitas link and match yang ada saat ini. Akibat ketidasesuaian antara ketersediaan pasar tenaga kerja dan kebutuhan industri, alhasil banyak pengangguran, termasuk dari lulusan perguruan tinggi yang bergelar sarjana.

Kondisi itu dialami Indonesia saat ini karena metodologi pembentukan pendidikan di Indonesia selama ini yang tidak berbasis kepada tenaga kerja. Disaat bersamaan, masing-masing kementerian dan lembaga kurang berkolaborasi dalam memetakan tenaga kerja. Sementara itu, pemetaan kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh Badan Usaha Milik Negara dinilai kurang terkoordinasi.

“Mungkin, konsep Komite Nasional Vokasi sekaligus untuk mengkoordinasikan dan membuat pasar tenaga kerja yang dihasilkan dari program vokasi lebih mampu diserap,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement