Selasa 07 May 2019 07:06 WIB

Mandi Merang, Tradisi Warga Jakarta Era 1950 Sambut Ramadhan

Warga Jakarta saat itu mandi merang di tepian Sungai Ciliwung.

Mandi di kali.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Mandi di kali.

Kembali ketika rakyat Betawi menyambut puasa, sehari sebelumnya orang telah mulai bergembira dengan memukul bedug sepanjang hari hingga Maghrib. Hanya berhenti sebentar dekat waktu Dzuhur dan Ashar. Para ibu memasak lebih enak dari hari-hari biasa.

Perkataan ”mencari dalam 11 bulan untuk satu bulan” masih ada juga yang ditrapkan di Condet hingga kini, tulis Ran Ramelan dalam Condet Cagar Budaya Betawi. Artinya, sebelas bulan lalu orang berusaha sekuat tenaga, dan dalam bulan puasa ini orang bersenang-senang dengan hasil tadi.

Namun bagi orang-orang tua kata-kata di atas diartikan, ”Mencari 11 bulan buat satu bulan”. Bagi orang tua-tua, seperti saya alami sendiri ketika tahun 1950-an tinggal di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat.

Setelah shalat tarawih, biasanya kami terus tadarusan membaca kitab suci Alquran hingga banyak yang tamat tiga kali dalam bulan itu. Mereka tinggal di masjid yang sekarang dikenal dengan istilah ihtikaf untuk beribadah, tahajud, dan berbagai amalan lainnya hingga Subuh. Siangnya mereka tidur.

Kala itu, pada siang dan malam hari, dari rumah-rumah warga terdengar ayat-ayat suci Alquran dibacakan. Seperti H Muasim, seorang alim di Kwitang, benar-benar ingin memanfaatkan ibadahnya. Dia tidak mau menceritakan hal-hal yang buruk, misalnya menggunjing kejelekan orang lain, agar tidak mengurangi pahala puasa, seperti yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW.

Sementara, sebulan sebelum puasa, telah dibentuk suatu panitia ‘andilan’ atau ‘arisan’ sapi. Seperti yang terjadi di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk mendapatkan satu kg daging sapi, tiap peserta membayar Rp 1.500 per minggu, selama 40 minggu. Ada yang ikut andilan untuk mendapatkan daging yang akan dibagikan 2 hari jelang lebaran 3-10 kg. Daging sapi diberikan pada saat-saat orang lagi memasak ketupat.

Ketika itu, harga sapi sekitar Rp 65 ribu per kg. ”Kalau kemudian harga daging sapi naik, itu sudah risiko,” ujar seorang pimpinan arisan. Hari memotong sapi itu sangat sibuk. Mereka menyebutnya, harian motong kerbau/sapi. Semuanya daging dan kepalanya dibagi rata, disaksikan para anggota andilan. Hanya kulitnya tidak dibagikan untuk ‘surat merah’ surat izin memotong hewan. Tradisi ini masih berlangsung, terutama di daerah-daerah pinggiran Jakarta.

Kurang afdhol kalau kita tidak menceritakan kegiatan ibu-ibu memasak untuk keperluan buka dan sahur. Mereka biasanya membuat pacar cina atau kolak, dan kolang kaling untuk tanda berbuka. Selesai Shalat Maghrib dilanjutkan dengan makan nasi beserta lauk pauknya seperti sayur asem, sayur lodeh, kari, semur telor atau daging.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement