Selasa 30 Apr 2019 08:07 WIB

Jakarta Memanas; Banjir dan Perlawanan Terhadap Neokolim

Situasi Jakarta memanas karena banyaknya demo dan banjir.

Seorang anak berusaha melintasi genangan banjir yang menggenangi sebuah kawasan di Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Seorang anak berusaha melintasi genangan banjir yang menggenangi sebuah kawasan di Jakarta. (ilustrasi)

Lahir di Rambipuji, Jember, Jatim 24 April 1911, Brigjen dr H Soemarno Sastroatmodjo, menjabat Gubernur Kepala Daerah Khusus Jakarta 4 Februari 1960 – 26 Agustus 1964. Kemudian sejak 15 Juli 1965 hingga 23 Maret 1966, Presiden Soekarno yang ingin menjadikan Ibu Kota sebagai kota teladan dan mercusuar dunia ketiga, meningkatkan jabatannya setingkat menteri.

Lima hari setelah dilantik, pada 9 Pebruari 1960 Jakarta mengalami hujan lebat selama 12 jam. Kawasan Grogol (Jakarta Barat) yang baru dibangun sebagai kota satelit kebanggaan Jakarta ketika itu dilanda banjir besar. Menggenangi rumah, termasuk kompleks parlemen setinggi lutut dan pinggang. Lebih parah lagi keadaan kampung sekelilingnya banjir setinggi atap rumah. Berbagai tempat di Ibu Kota juga dilanda banjir.

Bung Karno yang turut langsung menangani berbagai proyek, menjadikan Jakarta kota perlawanan dunia terhadap neokolim. Bahkan, presiden pertama RI ini ikut mendorong rakyat menentangnya dalam bentuk demo-demo dan aksi-aksi yang marak dan terjadi hampir tiap hari.

Sumarno dalam kesan-kesannya selama menjadi gubernur menulis: ‘kegiatan-kegiatan yang demikian ini membuat situasi Jakarta tidak hanya hangat tetapi makin hari makin memanas’. Situasi makin hangat ketika film-film imperialis diganyang. Digantikan film-film dari negara Sosialis dan RRC yang penuh propaganda dan indoktrinasi. Tentu saja tidak disenangi rakyat, hingga ratusan gedung bioskop di Indonesia berubah fungsi menjadi gudang, sementara buruh-buruhnya jadi penganggur.

Di kampung-kampung tiap tahun yang kemudian ditingkatkan dua kali setahun diadakan perlombaan kebersihan antara RT/RK (kini RW) terbaik untuk kemudian ikut dalam perlombaan tingkat kelurahan. Demikian terus ke atas hingga terpilih kampung (RT/RK) terbersih se-Jakarta.

Lomba ini diadakan Panitia Kebersihan Nasional. Tiap 17 Agustus sore setelah aubade murid sekolah, Bung Karno memberikan penghargaan kepada daerah tingkat II dan I. Jakarta pernah menggondol gelar ‘Kota Besar Paling Tidak Kotor’. Sesuai dengan cita-cita Bung Karno menjadikan Jakarta sebagai kota yang bersih.

Kantor-kantor pemerintahan, termasuk departemen-departemen ikut memberi contoh pada rakyat. Di samping itu ada lomba kebersihan antarstasiun kereta api dan antartoko. Seperti dituturkan Sumarno, Pemda DKI memberi contoh dalam gerakan kebersihan ini.

Tahun 1960, untuk pertama kali karyawan pembersih jalan, mulai bekerja pagi-pagi, sebelum subuh. Supaya jalan-jalan yang menjadi tanggung jawabnya sudah bersih sebelum karyawan lain dan murid sekolah keluar rumah pergi ke kantor dan sekolah.

Sumarno menuturkan, acara ini bawa keuntungan tambahan bagi karyawan kebersihan. Karena waktu siang waktu luang untuk menyambi pekerjaan lain. Di samping mereka jadi lebih aman terhadap kesibukan lalu lintas yang tiap hari tambahan ramai.

Namun keuntungan terbesar dengan cara tersebut didapat oleh Pemda DKI sendiri. Karena dengan penampilan Jakarta dalam keadaan bersih tiap pagi, rakyat diberi contoh dalam masalah kebersihan.

TENTANG PENULIS

ALWI SHAHAB, Wartawan Senior Republika dan penulis buku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement