Selasa 30 Apr 2019 06:11 WIB

Yang Datang Malam Hari

Negeri ini sudah merdeka lebih dari 72 tahun tapi mengapa belum bebas dari kejahatan.

Yang datang malam hari
Foto:

Para penjahat itu datang ke masjid-masjid dan rumah-rumah dan tak segan-segan melukai atau menghabisi nyawa korban. Sungguh biadab, katanya dalam hati. Namun, anehnya, kata polisi itu dilakukan oleh orang gila. Mengingat-ingat peristiwa itu, bulu kuduk penyair tak berhenti meriap-riap.

Ia kemudian bergumam. Negeri ini sudah merdeka lebih dari 72 tahun dan sudah banyak aparat berpangkat jenderal, tentara juga ada di mana-mana, tapi belum juga negeri ini bebas dari kejahatan jalanan.

Di mana-mana banyak penjahat. Padahal, tunjangan polisi sudah dinaikkan berlipat-lipat oleh pemerintah. Negeri ini memang aneh. Selain tidak aman, juga utang luar negerinya semakin menumpuk dari waktu ke waktu.

Dengan sisa-sisa keberaniannya, masih di atas kasur, penyair itu bertanya kembali. Ia betul-betul penasaran. “Kau, siapa?”

“Aku! Cepat buka pintunya! Cepat!” jawabnya sambil memukul-mukul pintu rumah. “Kalau tidak cepat kau bukakan pintunya, bisa-bisa kau dan aku tidak selamat!”

Penyair itu semakin takut. Merinding. Denyut nadinya semakin cepat berdesiran. “O….. tapi sebutkan dulu namamu siapa? Aku khawatir sekali kau penjahat!”

“Bukan. Aku orang baik-baik. Aku yang menulis naskah drama…!” Seseorang itu menjawab sambil menyebutkan beberapa judul naskah drama.

Tentu saja, penyair itu ingat dengan judul-judul naskah drama yang disebutkan itu. Naskah-naskah drama Islami itu memang sangat populer di kalangan pondok pesantren, apalagi di kalangan seniman-seniman teater autodidak dan akademis.

“Kau seniman besar, dramawan besar?” tanya penyair sambil berteriak.

Wajah penyair itu tampak semringah. Gembira. Ia merasakan alangkah bahagianya karena rumahnya kedatangan seniman dan dramawan besar. Sesuatu yang jarang terjadi.

Seseorang di luar itu mengikik. “Ya, makanya bukakan pintunya. Cepat.”

Tanpa berpikir panjang lagi, penyair itu loncat dari kasurnya dan segera menuju pintu depan. Namun, ketika akan membukakan pintu depan itu, hatinya mendadak ragu. Ia pun kembali ke dalam kamarnya dan duduk di bibir ranjang. Ada perasaan ngeri.

“Apa benar seniman besar sekelas dia mau datang ke rumahku? Apalagi, malam-malam begini. Ah, rasanya tidak mungkin. Lagi pula, apa kepentingannya denganku. Itu pasti penulis naskah drama palsu,” keluh penyair. Menuduh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement