Senin 29 Apr 2019 18:28 WIB

Pengamat: Sistem Zonasi PPDB Tuai Banyak Masalah

Masalah utama PPDB yakni tak seimbangnya daya tampun dengan jumlah pendaftar.

Rep: Nugroho Habibi/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah orang tua murid menerima daftar nama anaknya yang diterima di SMA pilihan ke dua, di SMAN 5 Bandung, melalui jalur PPDB (ilustrasi)
Foto: Republika/Edi Yusuf
Sejumlah orang tua murid menerima daftar nama anaknya yang diterima di SMA pilihan ke dua, di SMAN 5 Bandung, melalui jalur PPDB (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Krishnamurti menilai, sistem zonasi yang ditetapkan dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di seluruh SD, SMP, SMA dan SMK negeri di seluruh Nusantara menuai beberapa masalah.

Menurutnya, sistem PPDB memiliki masalah utama yakni, ketidakseimbangan daya tampung sekolah (supply) yang terbatas dan jumlah pendaftar (demand) yang terlampau tinggi. Ketidakseimbangan itu, Indra mengatakan, mengancam hak murid untuk menerima pendidikan tidak terpenuhi. Kekhawatiran beberapa pengamat pendidikan akan ketimpangan supply and demand sekolah pun akhirnya tak terelakkan.

Baca Juga

“Banyak media melaporkan pelajar yang terlantar akibat sekolah-sekolah di zona tempat tinggal mereka sudah melebihi daya tampung. Fenomena ini terjadi terutama pada pendaftar di jenjang pendidikan SMA dan SMK di beberapa daerah di Indonesia. Ketidaksiapan sekolah negeri dalam menampung demand murid inilah yang berpotensi mengakibatkan anak putus sekolah,” kata Indra melalui pesan resmi yang diterima Republika.co.id, Senin (29/4).

Di tahun ajaran yang lalu, Indra menjelaskan, pengumuman hasil PPDB dilakukan sepanjang minggu kedua bulan Juli 2018, sementara kalender tahun ajaran 2018/2019 dimulai serentak di minggu setelahnya. Itu berarti, Indra mengatakan, calon siswa yang tidak lolos PPDB hanya memilki waktu kurang dari satu minggu untuk mencari sekolah yang mau menerimanya.

Saat gagal masuk sekolah negeri, para murid memiliki alternatif untuk mendaftarkan diri di sekolah swasta. Namun, lanjut Indra, kebanyakan sekolah swasta sudah menutup masa pendaftaran murid baru, bahkan jauh sebelum prosedur PPDB dibuka sekitar bulan Maret-April.

Sehingga, Indra mengatakan, murid-murid tersebut ‘dipaksa’ menunggu hingga tahun ajaran selanjutnya untuk dapat melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. “Beberapa hal di atas menunjukkan tujuan diberlakukannya sistem zonasi tidak tercapai sepenuhnya. Karena pada praktiknya pun masih ada siswa yang harus menempuh jarak yang jauh untuk bersekolah dan siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu menjadi terbebani dengan biaya yang diminta oleh sekolah swasta,” jelasnya.

Padahal, salah satu tujuan diberlakukannya sistem zonasi dalam PPDB ini di antaranya bertujuan untuk menghilangkan persaingan antar sekolah negeri dan siswa. Hal ini dilakukan karena kriteria penerimaan siswa maupun status sekolah ‘favorit’ bukanlah berdasarkan kompetensi, melainkan jarak.

Indra menambahkan, dengan segala ketidaksiapan sekolah negeri dalam memenuhi //demand, sekolah swasta pun terkena imbasnya. Sekolah negeri dan swasta (dalam tingkat tertentu) seperti tidak perlu bersaing satu sama lain, karena murid yang masuk juga pasti akan selalu ada.

"Ada kesan ‘hadiah tak bersyarat’ yang didapatkan oleh sekolah, sehingga persaingan dalam menyediakan layanan pendidikan tidaklah perlu," katanya.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi kembali menegaskan penerapan sistem zonasi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2019. Menurutnya, dalam PPDB tahun 2019, semua sekolah negeri di tingkat SD hingga SMA/SMK harus menerapkan sistem zonasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement