Selasa 23 Apr 2019 06:11 WIB

Merebaknya Islamofobia Pascaperang Jawa Pangeran Diponegoro

Perang Diponegoro menandakan babak baru hubungan kolonial dan Islam Jawa.

Rep: Wahyu Suryana, Fitriyan Zamzami/ Red: Karta Raharja Ucu
Lukisan karya Raden Saleh tentang penangkapan Pangeran Diponegoro.
Foto:
RA KArtini

Pada dinamika masa tersebut, dari senja abad ke-19 hingga fajar abad ke-20, hiduplah Kartini. Dengan ayah seorang priyayi dan ibunda yang merupakan anak haji dan hajjah, Kartini datang dari dua sekaligus kalangan yang disasar Kebijakan Asosiasi, Politik Etis, dan emansipasi. Dari lingkungan keluarga dan lokasi tinggalnya di pantai utara Jawa Tengah, ia juga mestinya akrab dengan gerakan Islamisasi yang meningkat kala itu.

Jika membaca lengkap surat-surat Kartini yang dihimpun Joost Cote dalam Kartini-The Complete Writings 1898-1904 (2018), DNA kebijakan Belanda masa itu terserak di mana-mana. Sebaliknya, sukar memahami konteks sepenuhnya surat-surat itu tanpa menimbang elan zaman tersebut.

Penolakan Kartini terhadap poligami pada awal-awal surat, misalnya, sejalan dengan pemahaman Protestan Calvinis Belanda yang juga menentang poligami. Demikian juga pemujaannya, pada mula-mula surat terkait keunggulan bangsa Belanda dan ketergantungan pribumi pada peradaban itu untuk meraih kemajuan.

Kartini dalam suratnya menyiratkan soal pembedaan kaum putihan dan abangan, juga mengkritisi dengan keras telaahan Hurgronje terkait perempuan Islam Jawa. Sepanjang surat, apalagi jika hanya membaca Door Duisternis tot Licht (1911) yang memang tujuannya propaganda, Kartini tampak sebagai anak emas hasil kebijakan-kebijakan Belanda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement