Selasa 23 Apr 2019 06:11 WIB

Merebaknya Islamofobia Pascaperang Jawa Pangeran Diponegoro

Perang Diponegoro menandakan babak baru hubungan kolonial dan Islam Jawa.

Rep: Wahyu Suryana, Fitriyan Zamzami/ Red: Karta Raharja Ucu
Lukisan karya Raden Saleh tentang penangkapan Pangeran Diponegoro.
Foto:
Diponegoro (mengenakan surban dan berkuda) bersama pasukannya tengah beristirahat di tepian Sungai Progo.

Pengaruh Islam di Jawa memang terasa menguat. Saya akan mengakui lebih dulu bahwa orang-orang Jawa kian kagum dengan berbagai pengaruh dan tokoh Muslim.

"Jadi, Islam memang jadi kian berbahaya untuk eksistensi kita di Jawa," tulis Carel Poensen, seorang misionaris Kristen anggota Masyarakat Misionaris Belanda (NZG) dalam surat dari kediri tertanggal 22 April 1899.

Pada masa-masa itu juga Belanda mulai meminta masukan orientalis Snouck Hurgronje tentang cara menangani politik Islam. Salah satu nasihatnya yang sangat legendaris, yakni biarkan Islam berkembang asalkan itu hanya berada pada sisi ritual atau ibadah, dan segera berangus bila ada kekuatan Islam politik.

Dalam bukunya, tentang hubungan kolonialisme di Indonesia dan Islam, The Ummah Below the Winds (2002), Indonesianis Michael Laffan menuturkan, salah satu pandangan Hurgronje yang paling berdampak adalah soal emansipasi dan asosiasi sebagai jalan deislamisasi Jawa. Hurgronje meyakini, mereka bisa menyingkirkan tendensi perlawanan Islam dengan menyediakan pendidikan Barat untuk pribumi, utamanya priyayi dan menjauhkan mereka dari ulama-ulama yang dianggap fanatik.

photo
Christiaan Snouck Hurgronje

Pemikiran ini kemudian jadi salah satu patokan pihak-pihak di Belanda yang mendukung Kebijakan Asosiasi yang masuk dalam payung besar Politik Etis. Selain tentunya ada dorongan serupa dari para aktivis dan angota parlemen dari kalangan progresif dan Kristen untuk meningkatkan taraf hidup pribumi di tanah kolonial sebagai balas budi. Ini adalah salah satu tema umum kolonialisme, bahwa pribumi hanya bisa dimajukan dengan suntikan paham-paham kebudayaan Barat.

Peneliti dari Universitas Utrecht, Maryse Kruithof, dalam thesisnya Dutch missionary Encounters with Javanese Islam, 1850-1910 yang dipertahankan pada 2014 menyimpulkan, pemerintah kolonial memang mengubah kebijakan keagamaan mereka pada akhir abad ke-19 untuk memadamkan politik Islam dan menahan Islamisasi.

Kebijakan itu pada akhirnya berdampak pada para misionaris Kristen. Jika sebelumnya para misionaris dibatasi geraknya di Nusantara dengan dalih menjaga Rusten Orde alias ketertiban, kini mereka dianggap sebagai sekutu dalam melawan fanatisme Islam. Para priyayi juga diberi kekuasaan dengan anggapan bisa menghalau Islamisasi.

Bukan kebetulan, tulis Maryse Kruithof, bahwa menjelang dan selama penerapan kebijakan itu, jumlah misionaris Kristen melonjak tajam di Jawa dan pulau-pulau lainnya. Hal ini sebab sedari mula, Hurgronje memang menilai, militansi para misionaris ampuh buat menjalankan Politik Asosiasi.

"Komunitas Kristen dipandang sebagai jalan yang sempurna untuk menciptakan konstituen yang loyal terhadap Kerajaan Belanda," tulis Maryse.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement