1901
Pada 21 Januari 1901 Kartini pergi ke pantai bersama Ny Gonggrijp. Kartini mandi di laut. Duduk di batu karang, kaki terendam air laut, mata memandang cakrawala. "Alam tidak pernah membiarkan kami pergi sebelum dihiburnya, apabila kami datang kepadanya untuk minta dihibur."
Di tahun ini pula Kartini bersama dua adiknya berlibur 18 hari ke Batavia dan Bogor. Menikmati kebebasan, diperlakukan secara hormat, mendapatkan hubungan-hubungan yang sesungguhnya. Mereka menikmati kebahagiaan tiada tara, tapi kemudian Kartini harus bersedih karena perkawinan semakin dekat.
Acara berlibur ke Batavia dan Bogor merupakan suatu keberuntungan setelah sekian lama bersedih karena mengetahui rencana perkawinan itu. Sebelumnya Kartini mendapat kunjungan Abendanon suami-istri yang kemudian menawari berlibur ke Batavia-Bogor. Di Bogor, Kartini berkenalan dengan Nyonya De Booij-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Tahun ini, Kartini juga berkeinginan masuk sekolah perawat di Mojowarno. Di saat bersamaan setelah pulang dari berlibur di Batavia, Abendanon menagih janji kapan Kartini mau sekolah di Batavia. Tahun ini menjadi masa sulit bagi Kartini. Kardinah sakit pada Februari, April giliran ayahnya yang sakit jantung. Ini yang menguatkan dirinya untuk berangkat ke Mojowarno bersekolah perawat. Tetapi, dalam kondisi ayahanda sedang sakit tak mungkin bagi Kartini mengajukan izin.
Baru di bulan Agustus Kartini meminta izin. Ayahnya hanya bisa menjawab dengan pelukan erat, yang oleh Kartini dibilang "Matanya kembali menyorotkan penderitaan jiwa, namun telinga saya tak mendengar penolakan." Tapi, malam itu juga, ayahnya jatuh sakit lagi hingga September. Kartini tak pernah pergi ke Mojowarno. Pada Desember giliran Kartini yang sakit, di saat adik-adiknya diam-diam mencari nama laki-laki beristri yang akan menyunting Kartini.
"Setiap tahun, di Jawa atau seluruh Hindia Belanda ini rata-rata 20 ribu orang perempuan mati saat melahirkan. Tiga puluh ribu anak lahir meninggal karena perawatan bagi ibu melahirkan yang masih kurang memadahi. Jadi, masih tersedia peluang yang terbuka bagi kami untuk berbuat baik dan berjasa bagi saudara kami sesama perempuan.
Dari ayah kami telah mendapat izin pergi ke Mojowarno untuk belajar bidan, bila jalan lain telah tertutup karena berbagai hal. Anggota keluarga lain menentang hal ini karena menganggap pekerjaan itu terlalu hina untuk tangan bangsawan kami!!! Teman-teman kami pun akan sangat kecewa bila kami harus menempuh jalan itu. Namun alasan mereka jauh lebih mulia dan lebih luhur. Mereka rupanya menganggap pekerjaan itu terlalu berat bagi kami, karena kami mempunyai cita-cita lain."
Juli 1901 Kartini ke Semarang. Kakak perempuannya yang tinggal di Kendal, Sulastri, mengupayakan waktu menjenguknya di Semarang. Ketika bertemu, kakaknya hanya bisa berucap, "dik, dik," dengan pelukan tangan yang gemetar dan mata berkaca-kaca. Mereka berdua lantas berdiri mematung saling pandang.
Setelah bertahun-tahun, kakaknya yang selama ini keras menentang Kartini, di pertemuan di Semarang itu menunjukkan dukungannya kepada Kartini. Kakaknya menunjukkan kekaguman pada usaha Kartini selama ini.
1902
Kartini mendapat kesempatan menemui tamu-tamu ayahnya di pendopo. Ini kali pertama Kartini mengunjungi pendopo rumahnya sendiri sejak diberi "kebebasan" pada 1895. Tetapi, renungan pikirannya telah menembus batas negara melampau jejak kakinya selama dipingit. Di Belanda, ada beberapa orang yang bersedia berkorespondensi dengan Kartini.
Bahkan, lewat tulisan-tulisannya, ukir Jepara menjadi dikenal di Belanda. Tak hanya Gubernur Jenderal di Batavia yang memesan sketsel ukir Jepara lewat Kartini, melainkan juga Ratu Belanda. Atas pesanan Ratu Belanda itu, ukir Jepara dipamerkan di Belanda.
Sejumlah perempuan perajin seni ukir di wilayah Desa Senenan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Pada 21 April 1902 itu Bupati Jepara mendapat kunjungan tamu dari parlemen Belanda, Van Kol, yang sebelumnya berkunjung ke Demak. Kartini dan Rukmini diajak ayahnya menjemput tamu itu di perbatasan. Kartini kemudian bersahabat dengan Nelly van Kol, istri Van Kol.
Ayah Kartini sebelumnya juga sudah ikut menerima Van Kol di Demak, saat makan siang, ada gunjingan tentang Kartini yang memiliki ide memaksa anak-anak bupati menjadi pengajar. Ayah Kartini pulang duluan untuk menjemput Kartini, untuk kemudian menjemput van Kol di perbatasan.
Di tahun ini pula Kartini sentra ukur kayu di blakang gunung. Ada pula kesempatan pergi arena pacuan kuda di Pati, ibukota karesidenan, melihat lomba bendi wanita.
1903
Pada 1 Februari, ada shalat meminta hujan, yang dilangsungkan di sebuah lapangan. Kartini tak meneceritakan lokasi, tetapi ia menggambarkan warga dan binatang ada di lapangan itu. Di depan sekali duduk para haji dan santri, di belakangnya para hajah bermukena putih. "Dan di kanan-kiri duduk ratusan orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Domba, kambing, kuda, kerbau diikat pada tonggak-tonggak. Seorang haji memimpin sembahyang. Berdiri di depan dan berdoa dengan suara keras. Orang banyak itu menyambut dengan 'amin, amin'. Domba-domba itu turut mengembik."
Lalu Kartini melanjutkan cerita, setelah itu hujan turun. "Doanya terkabul! Dan tahukah tuan apa yang dikatakan orang? Terkabulnya doa itu disebabkan karena kami hadir pada waktu sembahyang." Ayah Kartini menampik hal itu, tetapi tak mengubah pikiran rakyat. Di tempat lain, shalat istikharah yang tidak dihadiri Kartini dan ayahnya sudah berkali-kali dilakukan, tetapi tak turun hujan.
November Kartini menikah dengan Bupati Rembang, lalu pindah ke Rembang. Sebelum menikah, ia menulis surat kepada Abendanon. "Besok jam setengah enam kami menikah. Saya tahu, siapa yang besok dengan sepenuh hatinya ada di dekat saya."
Setelah pindah ke Rembang, baru pada 11 Desember ia menulis surat kepada Abendanon. "Alhamdulillah, di rumah ini keadaan saya baik dan menyenangkan."
Begitu pindah ke Rembang, Kartini disibukkan mengurus anak-anak dari suaminya yang sakit. Ia baru bisa menulis surat setelah anak-anaknya sembuh.
Ia bercerita tentang sambutan rakyat Rembang kepadanya. "Menyambut Sri Ratu tidak lebih meriah daripada menyambut kedatangan saya. Seluruh Rembang berpesta, mulai dari daerah perbatasan bendera dikibarkan di muka tiap rumah. Bahkan pada dokar-dokar triwarna berkibaran. Kegembiraan. Kegembiraan rakyat sangat spontan, sungguh-sungguh tulus ikhlas; pernyataan senang terpancar hangat dari hati sanubarinya…. Berkali-kali saya dibawa suami saya ke pendopo, rakyat harus melihat gusti putrinya yang baru."
"Saya duduk atau berdiri di sampingnya, diam, dengan mata berkaca-kaca, dan perasaan meluap-luap dalam hati. Di situ ada rasa bahagia, di situ ada rasa syukur, di situ ada rasa bangga. Bangga karena ia (suami) dapat menduduki tempat yang mesra dalam hati sanubari rakyat."
Pada 16 Desember Kartini bercerita menerima kunjungan tamu yang kemudian bermalam di rumahnya. Dia adalah dr H Borvoets beserta istri dari Mojowarno yang mendirikan rumah sakit di Kelet, dekat Kedung Penjalin. Semula Borveots mengunjungi ayahanda Kartini di Jepara lalu dipersilakan mampir ke Rembang.
Di surat 1 Februari 1903, Kartini juga menceritakan dirinya telah bisa mengambil hikmah dari tidak diizinkannya melanjutkan sekolah ke Belanda. Ada banyak gosip yang muncul jika ia ke Belanda, ia akan menjadi Belanda, sehingga akan banyak orang tak mau mau menitipkan anak-anaknya belajar bersama Kartini.
Ia juga bercerita soal Sulastri yang tadinya menentang Kartini, kini mendukungnya. Dengan air mata berlinang, Sulastri yang memiliki pengalaman buruk setelah menikah, memberikan dukungan kepada Kartini.
"Kami tidak bersusah payah menyusun pidato untuk melunakkan hatinya," tulis Kartini.